Scroll untuk baca artikel
Blog

Agus Salim dan Kritik Pendidikan

Redaksi
×

Agus Salim dan Kritik Pendidikan

Sebarkan artikel ini
Oleh: Adib Achmadi

Pendidikan mestinya menjadi anak kandung kebudayaan. Ia ada dalam realitas di mana kebudayaan berada. Pada posisi ini pendidikan menjadi penyambung lidah kebudayaan. Napas pendidikan adalah juga napas kebudayaan.

Bahwa ada pengetahuan dan nilai-nilai baru yang lahir dari lembaga pendidikan itu harusnya berada dalam pergumulan dan penguatan kebudayaan. Bukan sesuatu yang berada di luar kebudayaan yang berdiri sendiri dan bergerak sendiri.

Pada banyak hal dunia pendidikan kita adalah ‘benda asing’ kebudayaan. Apa yang terjadi di sekolah sering bukan apa yang terjadi di masyarakat. Sekolah punya dinamika sendiri dan berkembang sendiri dengan caranya.

Sekolah menjadi dunia baru, alam pikir baru, mimpi-mimpi baru yang dalam banyak hal tidak sebangun dengan kehidupan masyarakat.

Itu mengapa dunia pendidikan sering sulit menyatu dengan masyarakat. Dunia pendidikan adalah bangunan besar dan berbatas tembok menjulang sekaligus menjadi garis batas dengan kehidupan masyarakat.

Tidak salah jika ada yang berpandangan dunia pendidikan menjadi ‘menara gading’. Sesuatu yang tinggi, megah, tapi cukup berjarak dari kehidupan masyarakat.

Mengapa demikian? Tak bisa dipungkiri bahwa dunia pendidikan adalah bagian dari persemaian subur kehidupan modern. Lembaga pendidikan telah menjadi kendaraan menuju masyarakat modern industrial dengan negara maju sebagai prototype ideal.

Sekolah dalam banyak hal bukan mencetak ‘manusia budaya’ melainkan cenderung menjadi ‘produsen’ tenaga kerja bagi mesin besar bernama ‘industri’. Kerja dan pekerja menjadi orientasi utama pendidikan. Peserta didik sejak awal ditanamkan akan ‘menjadi’ atau bercita-cita menjadi sosok yang akan menghiasi dinding bangunan masyarakat industrial.

Tak pelak lagi, nyaris tak banyak ruang bagi napas kebudayaan di sekolah kecuali hal-hal yang sifatnya pelengkap atau seremonial. Keterampilan hidup modern lebih banyak mendapat porsi daripada keterampilan bermasyarakat atau berkebudayaan.

Orientasi modernisasi dan industrialisasi telah membuat peserta didik menjadi makin berjarak dengan kehidupan masyarakat. Ada kegagapan dan kegugupan institusi pendidikan maupun peseta didik untuk ‘srawung sosial’ dengan masyarakatnya sendiri. Hal ini karena antara institusi pendidikan dengan masyarakat adalah dunia yang berbeda.

Dulu Belanda membuat sekolah modern untuk tujuan dan orientasi yang kurang lebih sama. Sekolah didesain untuk menyiapkan siswanya jadi pekerja. Mereka dibekali ilmu dan keterampilan untuk mengisi posisi pekerjaan yang dibutuhkan Belanda saat itu.

Tentu pribumi hanya diberi kesempatan terbatas bisa mengenyam pendidikan dan dipersiapkan untuk jenis pekerjaan terbatas (pekerjaan rendahan), kecuali orang-orang tertentu. Dan yang lebih penting, sekolah tak membangun watak dan jatidiri yang berbasis budaya sendiri.

Itu mengapa, dulu Agus Salim menolak anaknya masuk ‘sekolah modern’ Belanda. Sekolah, hanya mencetak manusia inlander, mental terjajah, mental inferior utamanya terhadap para tuan Belanda. Produk sekolah hanya menyiapkan menjadi tukang. Tak ada pembentukan jiwa-jiwa merdeka dengan cita rasa budaya sendiri.

Agus Salim memilih anaknya dididik sendiri di rumah yang dalam istilah sekarang disebut home schooling. Dan sebagaimana dicatat dalam sejarah, Anak anak Agus Salim tumbuh layaknya buah jatuh tak jauh dari pohon.

Watak, kemampuan bahasa, dan kemampuan literasi anak-anak Agus Salim mengikuti jejak ayahnya. Home schooling yang diterapkan Agus Salim adalah bentuk perlawanan kalau tidak boleh dibilang kritik pendidikan pada masa itu.