
Dua sahabat muda tersebut bagai ujung tombak bermata dua. Alm FH dengan potensi keilmuan-genius sebagai keunggulan, dan alm AB dengan keunggulan manajemen organisasi yang mumpuni. Keduanya juga sepakat terus memelihara tradisi keilmuan yang ditanamkan pada setiap aktivitas kader. Dan keduanya layak dijadikan role model bagi kader muda untuk dijadikan pedoman.
Pada geger reformasi 98, keduanya mobile Malang-Yogya dan Rembang-Yogya. Tentu saja supply massa mahasiswa juga terdiri dari para generasi penerus FH dan AB di Jogja. Meskipun bukanlah dari kubu yang selalu bicara kemiskinan struktural dan aksi-aksi pembelaan petani, tetapi lebih pada penyiapan cultural revolution sebagai basis paling dasar. Namun, selalu siap terjun ketika dialektika sejarah mengharuskan adanya massa aksi.
Akhirul kalam, catatan kecil ini dibuat untuk mengenang secara abadi dua sahabat muda yang sepertinya “terlalu cepat pergi”. Kenangan-kenangan pada keduanya ketika masih sama-sama mahasiswa, kadang menimbulkan kegelian dan keharuan. Betapa alm Arif Budiman sebagai generasi santri intelek, tetap tak menanggalkan identitas santrinya saat berkiprah di organisasi mahasiswa, lebih kerap mengenakan sarung khas poro kiai dan peci. Tak heran, karena anak Kiai Besar Rembang, masih bertalian famili juga dengan Gus Mus.
Sementara alm Fattah Hidayat, berpenampilan bak Gus Dur dengan kacamata minus yang tebal, selalu mengenakan jaket, setelan rambut potongan Beatles sisir samping, dan uang yang selalu “dibejek-bejek”, menggumpal dalam kantong celana.
Semoga istri dan anak-anak mereka kelak dapat meneruskan perjuangan tak kenal lelah mereka berdua. Selamat jalan mas Arif dan mas Fattah, air mata menggenang ketika membuat narasi kecil ini. Terima kasih atas segala ketulusan kalian. Semoga Allah swt. menerima semua amal ibadah, dan mengampuni segala khilaf. Aamiin yaa Rabbal Alamiin.
Yogyakarta, 12 Juni 2021
Dari Pojok Baturetno