Oleh: Adib Achmadi
Asosiasi kampus biasanya menyangkut dua hal. Pertama, komplek bangunan. Kedua, perguruan tinggi. Atau bisa juga asosiasi itu pada keduanya, yakni komplek bangunan perguruan tinggi.
Secara lazim pengertian kampus tak jauh dari unsur pendidikan di perguruan tinggi. Sebuah wahana pendidikan yang diselenggarakan jenjang perguruan tinggi, berupa entitas bangunan tempat mahasiswa belajar. Sebuah perguruan tinggi biasanya memiliki sejumlah entitas bangunan di sejumlah tempat. Oleh institusi perguruan tinggi, entitas bangunan itu biasanya disebut kampus 1, 2, 3 dan seterusnya.
Dulu, semasa aktif di mahasiswa, ada kawan kawan sering menyebut dirinya kuliah di kampus Universitas Jagat Raya. Sebutan ini tidak ada hubungannya dengan bangunan atau institusi.
Universitas Jagat Raya sekadar istilah untuk mengakomodasi hasrat belajar otodidak kawan-kawan yang sering tak terwadahi. Berbagai disiplin ilmu dipelajari yang sering kali di luar bidang yang sedang digeluti di kampus. Ada semacam kegairahan mempelajari text book di luar kampus.
Universitas Jagat Raya, entah dari mana asalnya waktu itu, adalah nama institusi imajinasi untuk menyebut luasnya cakrawala ilmu yang bisa dipelajari manusia. Dan Kampus Jagat Raya adalah tempat di manapun seseorang bisa belajar menambah wawasan dan kepada siapapun yang memiliki kompetensi ilmu pengetahuan.
Ruh dari ‘Universitas Jagat Raya’ adalah semangat otodidak, suatu spirit belajar mandiri tentang berbagai ilmu yang disukai. Ada semacam kegairahan kawan kawan ‘berkompetisi’ membaca berbagai buku bacaan, utamanya yang lagi ‘naik daun’, dari berbagai disiplin ilmu entah filsafat, sosial, politik, atau pemikiran keagamaan.
Ada kebanggaan sekaligus kenikmatan ketika kawan-kawan waktu itu bisa bertemu membawa dan membedah buku bacaan baru atau berbincang banyak hal tentang sebuah buku yang lagi tren.
Tidak hanya soal buku, saat itu kawan-kawan sering selenggarakan forum-forum kajian atau diskusi dengan berbagai isu. Tak jarang forum diskusi mengangkat tema-tema berat semacam filsafat atau epistemologi. Pembicaranya para guru besar kampus yang memiliki minat yang sama waktu itu. Dan uniknya, forum-forum itu relatif tak pernah sepi peminat.
Saya sendiri kurang paham bagaimana ada arus intelektual semacam itu sempat menyeruak demikian kencang.
Banyak mahasiswa baik secara indivudual maupun dari berbagai entitas kampus, yang gandrung pada buku dan isu isu yang lagi hangat waktu itu macam Pemikiran Posmo, Filsafat Perenial, aliran kiri dan lain-lain.
Sejumlah penerbit juga banyak mengeluarkan bermacam terbitan buku entah itu terjemahan atau penulis dalam negeri seperti Lkis, LP3ES, Gema insani pers dan lain-lain. Ada jurnal keren waktu itu yang sempat beredar dilingkungan kampus, Ulumul Quran.
Iklim literasi yang cukup hangat kala itu kemudian surut dan kurang begitu berdenyut. Suhu literasi serasa padam dan hal itu makin terkonfirmasi pada berbagai survei nasional maupun internasional yang menempatkan daya baca masyarakat maupun dunia pendidikan kita amat rendah, bahkan masuk jajaran terendah dunia. Suatu kondisi yang memprihatinkan.
Untuk kemajuan sebuah bangsa, literasi adalah kebutuhan mutlak. Tak ada kebudayaan atau peradaban suatu bangsa yang maju dan berkembang tanpa didahului denyut literasi. Dunia Pendidikan utamanya universitas mestinya menjadi pendorong utama atau energi penggerak literasi.
Pemikiran ini wajar saja karena dunia pendidikan utama kampus perguruan tinggi sarat dengan infrastruktur literasi. Atau kalau hal itu kurang memungkinkan, keberadaan ‘Universitas Jagat Raya’ atau yang sejenisnya mesti bangkit dan tumbuh di mana-mana. []