Penyangkalan Aisyah itu (seakan) mengingatkan kita, umat Muhammad saw, bahwa Allah swt adalah wujud mutlak, sempurna, berdiri sendiri, dan tempat bergantung semua yang ada. Tuhan melayani makhluk-Nya dengan hukum dan tradisi Ketuhanan-Nya.
Kita telah menyakini bahwa yang menghentikan kehidupan manusia, mengatur sirkulasi rezeki, dan yang menabur rahmat, itu semua berkat Allah swt. Tapi, kita juga paham bahwa ternyata yang bertugas di lapangan adalah Izrail, Mikail, dan sebagainya, dengan pelbagai cara (sebab-akibat). Kita butuh uang misalnya, kita memohon kepada-Nya, dan Allah pun meluluskan dengan cara: usaha dagang kita lancar, atau ada yang mengirimi kita uang, atau ada yang mengembalikan (ya, paling tidak membebaskan) utang-utang kita, dan begitu seterusnya.
“Allahlah yang merezekikan si A, tapi dengan wujud riil: ada seorang yang bertandang dan bertransaksi. Namun demikian, tetaplah diistilahkan Allah yang memberi rezeki, Allah yang merahmati. Walau Allah tidak datang langsung mengantar teh gula, atau salam templek kan!” canda Gus Baha.
Dari situlah, Aisyah jelas hendak mengamankan konstitusi akidah Islam. Bahwa allah swt adalah subjek yang tak dapat diobjekkan. Bahwa Allah swt wujud, tapi tak dapat dilihat, didengar, dibuktikan, dinyatakan, atau dibayangkan. Pokoknya, laisa kamislihi syaiun. Prinsipnya, kita jangan sampai terjebak untuk mendramatisasi wujud Tuhan.
Sehingga sang Nabi saw pun memberi batasan kepada umat beliau untuk tak berpikir zat Allah, tapi seyogianya menafakuri ciptaan-Nya saja. “Makanya ahli sunah itu yakin, melihat perempuan cantik atau larut dalam gelimang harta itu tidak disebut murtad. Namun, mengeklaim telah melihat Tuhan itu rawan murtad. Karena jelas: laisa kamislihi syaiun.” simpul Gus Baha.
Demikian.