Scroll untuk baca artikel
Khazanah

Canda Nabi, Nu’aiman dan Sahabat

Redaksi
×

Canda Nabi, Nu’aiman dan Sahabat

Sebarkan artikel ini

Barisan.co – Alkisah, suatu ketika Nu’aiman, salah seorang sahabat Nabi Muhammad saw yang hobi bercanda, pergi dalam suatu perniagaan ke Bashrah bersama Abu Bakar. Turut pula Suwaidan, yang bertugas membawa perbekalan.

Singkat kisah, ketika beristirahat Nu’aiman meminta makan kepada Suwaidan, tapi Suwaidan menolak karena Abu Bakar lagi tak di tempat. “Tunggulah sampai Abu Bakar datang,” katanya.

“O, begitu ya, nantikan pembalasanku!” ancam Nu’aiman,  yang sebetulnya ancaman gurauan saja.

Bertandanglah Nu’aiman kepada beberapa orang, sesama  peniaga, menawarkan Suwaidan kepada mereka. Padahal jelas, si Suwaidan ini bukan hamba sahaya, alias seorang merdeka. Namun, memang dasar Nu’aiman, kepada para peniaga itu, dijelaskanlah bahwa Suwaidan adalah hamba sahaya yang berharga teramat sangat murah. Dijelaskan pula, meski berharga murah, tapi memiliki kelemahan: acap kali mendaku diri sebagai orang merdeka.

Tawar-menawar selesai, lantas bersama mereka, Nu’aiman menuju  tempat Suwaidan istirahat. Sontak Suwaidan kaget, salah seorang peniaga langsung mengikat dan berkata ketus: “Kami telah membelimu, dan kami tahu persis, kamu suka mengaku-aku sebagai seorang yang merdeka.”

Beruntung  Abu Bakar segera datang dan mengurai persoalan, sehingga tak sampai terjadi baku hantam. Kesalahpahaman pun bisa dicegah. Namun, tetap saja, ada yang jenaka di sana. Kita menemukan sosok Nu’aiman, sosok menjengkelkan tapi mengundang tawa. Ia penggeli, super kocak. Bahkan Nabi saw yang diberitahu peristiwa tersebut tak bisa membendung raut muka semringah. Setiap beliau ingat atau diingatkan perilaku Nu’aiman itu, beliau menampakkan air muka cerah.

Tidak hanya itu, Nu’aiman bikin orang gemas. Makhramah bin Naufal, seorang tua, buta, dan telah berusia 115 tahun, suatu ketika berada di masjid dan hendak buang air kecil. Lantaran buta, ia tak kunjung menemu kamar kecil.

Nu’aiman melihatnya. Kambuhlah penyakit usilnya. Ia menuntun Makhramah ke satu tempat dan mempersilakan untuk buang air kecil. Nu’aiman meninggalkan Makhramah, dan saya bayangkan Nu’aiman melenggang menjauh dari Makhramah seraya senyam-senyum sendiri. Saya bayangkan ia mengkhayalkan reaksi orang-orang mengecam Makhramah. Dan, benar saja, karena Makhramah buang hajat tidak di kamar kecil, atau tidak di tempat tersembunyi, Makhramah pun dikecam oleh banyak orang.

Makhramah kemudian menyadari, Nu’aiman menuntunnya ke tempat tak wajar itu adalah kesengajaan ingin mempermainkannya. Maka ia bersumpah akan memukul Nu’aiman dengan tongkat sekuat tenaga bila bertemu. Jelas Nu’aiman dengan gampang menghindari perjumpaan. Ia selalu bisa berjarak dengan Makhramah. Ia menjauh cukup lama, hingga Makhramah pun melupakan kasusnya.