Scroll untuk baca artikel
Blog

Altruisme Emak-Emak dalam Pesta Demokrasi

Redaksi
×

Altruisme Emak-Emak dalam Pesta Demokrasi

Sebarkan artikel ini

Tantangan Altruisme

Lalu mengapa dibalik gerakan jiwa altruis itu tak juga menunjukkan perbaikan demokrasi ?. Hanya menunjukkan sebuah pesta hura hura ?. Salah satunya adalah kita belum berderap bersama. Gerakan relawan politik perempuan cenderung hanya parsial dan berhenti begitu saja. Padahal jika disambut dengan strategi kebjakan yang tepat guna perwujudan kesetaraan gender.

Indonesia telah berhasil menjalankan program pembangunan yang responsif terhadap perempuan di berbagai bidang seperti ketenagakerjaan, pendidikan, hukum, pertanian, koperasi dan UKM, politik, kesejahteraan sosial, keluarga berencana, kesehatan dan lingkungan hidup. Namun tidak semua program berjalan dengan optimal disebabkan kurangnya pemahaman dan kemampuan dari para pemangku kepentingan terhadap kebutuhan emak-emak dan anak. Sampai hari ini blueprint atau strategi perlindungan bagi perempuan di Indonesia belum koheren.

Sekuat-kuatnya emak emak berjuang demi tegaknya demokrasi, dan terpilihnya pemimpin yang amanah disertai dengan jiwa altruis dibalut dengan baju kerelawanan, jika Indonesia belum memiliki regulasi, tidak hanya yang berisi blueprint, tapi juga kategori kebijakan lainnya. Bahkan ada yang ambigu. Kita belum mampu melihat keragaman dimensi perempuan yang saling terkait dan tumpang tindih dalam dimensi-dimensi yang lain seperti dimensi kelas, agama, ras/suku, identitas gender, dan sebagainya.

Oleh karena itu akar permasalahan di tingkat masyarakat atau keluarga yang melanggengkan ketimpangan/ketidakadilan gender belum terpecahkan. Dalam hal ekonomi misalnya strategi untuk mendorong dan meningkatkan kapasitas dan daya saing perempuan dibandingkan laki-laki masih minim.

Masih kuatnya struktur budaya patriarkhi di masyarakat Indonesia. Diskriminasi dan persekusi terhadap kelompok tertentu. Peran laki-laki sebagai pemimpin mendapat  intrepetasi yang justru mendiskriminasi dan memarjinalkan peran dan posisi perempuan. Pandangan seperti ini kemudian menciptakan seksisme bahwa laki-laki jauh lebih baik daripada perempuan sehingga membatasi ruang gerak perempuan untuk dapat megaktualisasikan diri terutama di ruang-ruang publik.

Hal ini merupakan pengabaian terhadap konsep perempuan dalam perwujudan kebaikan dan kemaslahatan bagi umat manusia sebagai tujuan dari agama itu sendiri sebagai agama rahmatan lil alamanin. Sementara dalam ajaran agama Kristen perempuan dan laki-laki dikisahkan sebagai ciptaan Allah yang sederajat.

Dalam agama Buddha, perempuan memiliki tempat yang setara dengan laki-laki. Sang Buddha bahkan memberi nasehat bahwa kelahirab anak perempuan dan laki-laki seharusnya dirayakan dengan suka cita. Misinterpetasi atas ajaran agama ini berpotensi melegitimasi ketimpangan gender yang terjadi di masyarakat. Padahal diyakini setiap agama menempatkan seluruh umat manusia, khususnya perempuan berada pada posisi yang mulia dan setara. Agama misalnya berusaha mengubah cara pandang manusia khususnya mengubah pandangan perempuan sebagai objek.        

Sistem politik mengekalkan budaya patriarki. Hal ini dikarenakan mayoritas pejabat publik maupun politisi didominasi oleh kaum laki-laki. Meskipun sudah terdapat kebijakan yang mengatur tentang partisipasi perempuan dalam perpolitikan, pada implementasinya repsentasi perempuan dalam politik masih dibawah 30%. Dengan kata lain perlu ada reformasi padi sistem kepartaian sebagai lembaga yang mewadahi kepentingan anggota maupun partisannya. [Luk]


[1] Lihat Peter F Drucker, Managing the Non Profit Organization, Principle and Practices, New York, HarperCollins, 2005.