Perusahaan rokok elektrik masih beriklan di media tradisional, mereka menemukan kesuksesan besar melalui pemasaran di media sosial.
BARISAN.CO – Diperkirakan, vape mulai masuk ke Indonesia tahun 2010. Pada awalnya, popularitasnya cukup rendah karena masih memilih rokok konvensional.
Beredarnya informasi kalau rokok elektrik memiliki dampak negatif kesehatan yang lebih rendah membuat popularitasnya meningkat. Merek-merek vape impor akhrinya mulai bermunculan.
Sebuah survei pertama tentang pemasaran rokok elektrik di Indonesia pada Maret 2022 oleh organisasi kesehatan masyarakat Vital Strategsi dan Yayasan Lembaga Konsumen indonesia (YLKI) menunjukkan, platform Facebook dan Instagram, Meta dibanjiri iklan rokok elektrik yang menipu. Kemungkinan, melanggar peraturan nasional dan bertentangan dengan peraturan nasional.
“Rokok elektrik dan vape dipasarkan secara eksplisit sebagai produk yang diasosiasikan dengan gaya hidup keren dan glamor anak muda dan tidak berbahaya bagi kesehatan, padahal sebenarnya berbahaya,” kata Tulus Abadi, Ketua Eksekutif YLKI.
Dia menambahkan, itu pelanggaran terang-terangan terhadap UU No 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen yang menyatakan bahwa konsumen berhak mendapatkan infomasi jelas dan jujur.
Oleh karenanya, mereka telah meluncurkan ‘Vape Tricks in Indonesia’ agar masyarakat dapat menyatakan dukungan kepada pemerintah untuk memulai membuat peraturan tentang pemasaran vape khususnya online. Itu dilakukan agar dapat melindungi konsumen di Indonesia, khususnya kaum muda.
Enrico Adittjondro, Associate Director Southeast Asia di Vital Strategies mengatakan, laporan Vape Tricks menemukan, Instagram dan Facebook sebagai platform favorit pemasaran rokok elektrik di Indonesia.
“Laporan ini adalah hasil pemantauan iklan online Vital Strategies, Tobacco Enforcement and Reporting Movement (TERM), yang telah menginditifikasi tren peningkatan pemasaran tembakau online di Indonesia, India, dan Meksiko. Dengan menganalisis pemasaran rokok elektrik dari 13 Agustus hingga 15 Desember 2021, kami menunjukkan bahwa kebijakan Meta yang dipaksakan sendiri untuk melarang produk nikotin dipasarkan di platform Facebook dan Instagram tidak berfungsi,” jelasnya.
Enrico melanjutkan, masih banyak yang harus dilakukan untuk memastikan penggunaan media sosial bukan jalan menuju merokok, penyakit, dan kematian.
Di Amerika Serikat, uang yang digelontorkan untuk iklan rokok meningkat pesat sejak 2011. Menurut CDC, setidaknya 69% siswa SMA terpapar iklan ini, seperti di toko ritel, surat kabar dan majalah, dan internet. Antara 2011 dan 2014, perusahaan rokok elektrik meningkatkan pengeluaran dari US$6,4 juta menjadi US$115 juta. Selama periode waktu yang sama, pengunaan rokok elektrik meningkat di kalangan siswa SMA dari 2% menjadi 13%.
Sementara, perusahaan rokok elektrik masih beriklan di media tradisional, mereka menemukan kesuksesan besar melalui pemasaran di media sosial. Dengan menggunakan taktik seperti daya tarik emosional, dukungan selebriti, kartun, dan animasi di media sosial agar menarik kaum muda.
Mereka kemudian menggunakan berbagai metode yang menarik anak muda, mendorong pengikutnya untuk berbagi dan berinteraksi melalui kontennya, dan akhirnya membeli produk tersebut.
Sebuah penelitian berjudul “Whose Post Is It? Predicting E-cigarette Brand from Social Media Posts” menyimpulkan, kaum muda yang terpapar iklan pro-tembakau di media sosial memiliki sikap lebih positif dan meningkatkan perilaku merokok.
Indonesia saat ini belum mengatur pelarangan iklan rokok elektrik di media sosial khususnya di mana banyak kaum muda yang terpapar di sana. Terlebih, banyak iklan menyesatkan bahwa rokok elektrik lebih baik daripada rokok konvensional.