Dengan ledakan pariwisata, ekonomi Bali menjadi makmur, namun ada biaya yang harus dibayar.
BARISAN.CO – Bali selalu menarik wisatawan untuk berkunjung. Pulau ini memiliki berbagai objek wisata alam yang indah dan juga bervariasi.
Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf), Sandiaga Uno beberapa kali mendorong industri pariwisata di sana untuk tumbuh setelah dihantam pandemi.
Tahun lalu, bahkan PNS dari tujuh kementerian bekerja di Bali (Work from Bali) guna membangkitkan industri parawisatanya. Sandi saat itu justru menilai kegiatan itu dapat meningkatkan keterhunian hotel dan memberikan multiplier effect terhadap UMKM juga kegiatan ekonomi kerakyatan lainnya.
Sementara, laporan AP mengungkapkan, krisis air di Bali semakin memburuk akibat pembangunan pariwisata, pertumbuhan penduduk dan salah urus air, demikian diperingatkan para ahli dan kelompok lingkungan.
Kekurangan air sudah memengaruhi situs UNESCO, sumur, produksi pangan dan budaya Bali dan para ahli mengatakan situasinya akan semakin memburuk jika kebijakan pengendalian air yang ada tidak ditegakkan di seluruh pulau.
Bali mengandalkan air dari tiga sumber utama, yakni danau kawah, sungai, dan air tanah dangkal. Sistem irigasi tradisional yang unik, yang disebut “subak”, mendistribusikan air melalui jaringan kanal, bendungan, dan terowongan.
Tahun 2012, Subak dijadikan situs UNESCO pada tahun 2012. Menjadi pusat budaya Bali, yang mewakili filosofi Hindu Bali “Tri Hita Karana”—keharmonisan antara manusia, alam, dan alam spiritual.
Namun, tekanan sangat membebani subak dan sumber daya air lainnya, kata Putu Bawa, manajer proyek untuk program Perlindungan Air Bali, yang dipimpin oleh sebuah organisasi nonpemerintah yang berbasis di Bali, Yayasan IDEP.
Populasi pulau itu melonjak lebih dari 70% dari tahun 1980 hingga 2020, menjadi 4,3 juta orang, menurut data sensus pemerintah. Pertumbuhan pariwisata bahkan lebih eksplosif Kurang dari 140.000 pengunjung asing datang ke pulau itu pada tahun 1980. Pada tahun 2019, ada lebih dari 6,2 juta turis asing dan 10,5 juta turis domestik.
Dengan ledakan pariwisata, ekonomi Bali menjadi makmur, namun ada biaya yang harus dibayar. Sawah yang pernah dilalui subak telah diubah menjadi lapangan golf dan taman air, sementara hutan yang mengumpulkan air secara alami dan sangat penting bagi subak telah ditebang untuk vila dan hotel baru, jelas Bawa.
Sedangkan, Stroma Cole dari University of Westminster, yang telah meneliti dampak pariwisata terhadap pasokan air Bali, mengatakan masalah lain adalah permukaan air menurun karena penduduk dan bisnis Bali mengandalkan sumur atau lubang bor yang tidak diatur untuk air bersih, bukan pasokan pipa milik pemerintah.
“Saat ini, ini adalah sumber air termurah yang bisa digunakan orang. Jadi, mengapa kamu tidak menggunakan itu?” kata Cole.
Sedangkan, menurut data IDEP, dalam waktu kurang dari satu dekade, tabel air Bali telah tenggelam lebih dari 50 meter (164 kaki) di beberapa daerah. Sumur mengering atau tercemar air asin, terutama di bagian selatan pulau.
Stroma menyampaikan, Bali memang memiliki peraturan, seperti izin air dan pajak atas air yang digunakan, dimaksudkan untuk mengelola pasokan air di pulau itu, tetapi tidak ada penegakannya.
“Aturan yang ada adalah aturan yang sangat baik, tetapi tidak ditegakkan,” ungkapnya.
Dampak mengerikan dari krisis air dapat dilihat di Jatiluwih, di barat laut Bali, di mana para petani merawat teras sawah terbesar di pulau itu.
Selama beberapa generasi, sawah terasering yang hijau subur mengandalkan sistem subak untuk irigasi. Namun. dalam satu dekade terakhir, petani harus mengimpor dan memompa air melalui pipa plastik putih untuk mengairi sawah.