“Saat ini, ini adalah sumber air termurah yang bisa digunakan orang. Jadi, mengapa kamu tidak menggunakan itu?” kata Cole.
Sedangkan, menurut data IDEP, dalam waktu kurang dari satu dekade, tabel air Bali telah tenggelam lebih dari 50 meter (164 kaki) di beberapa daerah. Sumur mengering atau tercemar air asin, terutama di bagian selatan pulau.
Stroma menyampaikan, Bali memang memiliki peraturan, seperti izin air dan pajak atas air yang digunakan, dimaksudkan untuk mengelola pasokan air di pulau itu, tetapi tidak ada penegakannya.
“Aturan yang ada adalah aturan yang sangat baik, tetapi tidak ditegakkan,” ungkapnya.
Dampak mengerikan dari krisis air dapat dilihat di Jatiluwih, di barat laut Bali, di mana para petani merawat teras sawah terbesar di pulau itu.
Selama beberapa generasi, sawah terasering yang hijau subur mengandalkan sistem subak untuk irigasi. Namun. dalam satu dekade terakhir, petani harus mengimpor dan memompa air melalui pipa plastik putih untuk mengairi sawah.
Seorang petani I Ketut Jata mengungkapkan, tidak mungkin lagi bekerja di ladang sebagai petani. Jata menambahkan, dia mencoba menanam cengkih, yang membutuhkan lebih sedikit air. Kemudian, lahan yang ideal untuk padi dan kurangnya air subak menggagalkan rencana itu.
“Dulu, saat subak aktif, airnya masih bagus, tapi sejauh ini belum ada hasil, semua cengkih sudah mati,” tambahya.
Dalam penelitiannya, Stroma menjelaskan, petani Bali lainnya mengatakan mereka hanya bisa mendapatkan satu kali panen padi, bukan dua atau tiga tahun karena gangguan air. Itu bisa mengurangi produksi pangan di sana.
Saat Indonesia menutup perbatasan di puncak pandemi, pariwisata Bali turun drastis. Para pencinta lingkungan berharap penutupan itu akan memungkinkan sumur-sumur di pulau itu terisi kembali. IDEP saat ini sedang memasang sensor di sumur-sumur di seluruh pulau untuk penelitian yang lebih baik dalam memantau ketinggian air.
Sayangnya, pembangunan di seluruh pulau terus berlanjut, termasuk jalan tol baru yang didukung pemerintah yang menurut para aktivis akan semakin mengganggu sistem subak. Hotel, vila, dan bisnis baru lainnya menambah permintaan.
Mengutip Pancar Pos, Ketua Umum Badan Independent Pemantau Pembangunan dan Lingkungan Hidup (BIPPLH), Komang Gede Subudi berpendapat, kekeringan yang terjadi di Bali memang penyebabnya justru industri parawisata yang selama ini menjadi andalan dan sangat menguntungkan.
Dijelaskan, industri ini memerlukan 3 juta liter air atau sekitar 60 persen dari total konsumsi air di Bali. Yang menjadi masalah adalah air tersebut diambil dari tanah. Hal ini juga diperparah oleh semakin berkurangnya lahan terbuka hijau akibat maskin pesatnya pembangunan maupun infrastruktur pendukung.