BARISAN.CO – Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Menkumham) Yasonna H. Laoly mendorong revisi UU Narkotika sebagai salah satu upaya dalam mengurangi kondisi over kapasitas yang terjadi hampir di seluruh Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) di Indonesia.
Permasalahan over kapasitas lapas ini kembali mencuat pasca kebakaran di Lapas Klas 1 Tangerang, Rabu dini hari lalu (8/92021). 44 narapidana dilaporkan tewas dalam insiden tersebut. Menurut Yasonna, biang kerok over kapasitas ini karena warga binaan dari kasus narkotika.
“Selalu saya katakan sangat aneh sekali jenis crime yaitu kejahatan narkotika mendominasi lebih dari 50 persen isi lapas,” kata Yasonna dalam jumpa pers di Lapas Klas 1 Tangerang, pada Rabu lalu (8/92021).
Berdasarkan data Direktur Jenderal Permasyarakatan per Agustus 2021, kapasitas lapas lebih 105 persen. Dengan kapasitas lapas dan hanya 135.561 orang, namun jumlah penghuninya mencapai 266.561 orang. Dari jumlah tersebut, sekitar 200.000 orang merupakan narapidana kasus narkotika.
RUU tentang Perubahan atas UU No. 35 Tahun 2009 Tentang Narkotika saat ini masuk Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2021.
Pakar hukum tanah air, Andi W. Syahputra sepakat bahwasanya UU Narkotika memang perlu direvisi.
“Upaya DPR untuk melakukan revisi Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika perlu diapresiasi dan didukung oleh semua pihak. Karena alasan, UU Narkotika yang saat ini tengah berlaku selain tidak lagi mampu mengakomodasi perkembangan penggunaan jenis narkotika tertentu seperti ganja guna keperluan pengobatan medis, juga law of enforcement UU tersebut tak memberikan rasa keadilan bagi pengguna,” tutur Andi kepada Barisanco, Sabtu (11/9/2021).
Andi menyoroti perlu adanya kepastian hukum agar penegakan UU Narkotika berjalan konsisten dan tidak ada pelaku penyalahgunaan tertentu untuk mendapatkan perlakuan istimewa, terutama pengguna dari kalangan berada dan public figure.
“Sementara untuk kalangan bawah mendapat perlakuan tak adil yang secara hukum harus memperoleh rehabilitasi justru dikenakan penahanan,” tambah Andi.
Andi menjelaskan UU Narkotika No.35/2009 sebenarnya mengakomodir dua bentuk hukuman pidana, yaitu penjara atau kurungan dan rehabilitasi. Namun begitu, menurutnya, kelemahan lain dari UU Narkotika tersebut adalah adanya ambiguitas menyangkut kriteria dan syarat untuk rehabilitasi yang masih kurang tegas diatur dalam UU itu.
“Sehingga ada kesan aturan itu hanya tajam untuk kelompok tertentu dan penyidik berdalih bahwa keharusan untuk merehabilitas pengguna tidak diatur secara tegas. Dalih inilah yang kerapkali digunakan penyidik untuk melakukan penahanan dan menindaklanjuti proses hukumnya,” tegas Andi. [rif]