Oleh : Andi W. Syahputra
Ketua Umum Bara Nasionalis Indonesia
HARIAN Kompas Kembali berulah. Selepas sehari Anies Baswedan selaku Gubernur DKI Jakarta diperiksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) guna dimintai keterangan terkait penyelenggaraan formula-e. Esoknya muncul framing pada harian Kompas. Lewat salah satu judul berita yang dimuat pada Kamis, 8 September 2022, pada halaman bunyinya begini: “Korupsi Bukan Lagi Kejahatan Luar Biasa.” Sekilas judul berita itu biasa saja. Isinya mengulas pembebasan bersyarat bagi 23 koruptor akibat dibatalkannya Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 tentang Syarat dan Tata Cara Pelaksanaan Hak Warga Binaan. Tapi yang menarik justru pemuatan gambar Anies Baswedan saat diperiksa KPK yang dinilai sedikitpun tak punya kaitannya dengan ulasan berita yang dimuat. Anies bukan pesakitan sebagai tersangka apalagi narapidana korupsi. Jelas pemuatan gambar tersebut merupakan framing yang mengarah pada pembentuk opini atau mengiring persepsi publik. Harian Kompas telah sengaja membuat kejahatan berita.
Harian Kompas terkesan membiarkan pemuatan gambar itu supaya beredar luas. Ada desain framing yang sengaja dikemas guna memojokkan Gubernur DKI Jakarta. Bukan kali ini saja Anies dikerjain. Hampir saban hari dan setiap langkahnya kerapkali mendapat framing dari lawan-lawan politiknya yang tak menghendaki dirinya menjadi capres pada Pemilu 2024. Dalam komunikasi framing merupakan paradigma konstruksionis sebagai metode paling efektif untuk menjatuhkan seorang tokoh tertentu.
Framing adalah pendekatan untuk mengetahui bagaimana perspektif atau cara pandang yang digunakan oleh wartawan ketika menyeleksi isu dan menulis berita. Cara pandang atau perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang ditonjolkan dan dihilangkan, serta hendak dibawa ke mana berita tersebut. Karenanya, berita bisa menjadi manipulatif dan bertujuan menjatuhkan.
Oleh karena punya motif politik tertentu, framing dapat dimaknai sebagai perbuatan jahat. Wartawan pada akhirnya mampu memanipulasi agar bagaimana realitas itu hadir di hadapan pembaca. Objektivitas yang kita tahu tentang sosok seorang Anies akhirnya menjadi tergantung pada bagaimana wartawan membuat frame atas sosok Anies. Sehingga objektivitas tadi menjadi subjektif dalam memberikan pemahaman dan pemaknaan terhadapnya.
Dalam konteks pemahaman ini, Kompas memainkannya dengan begitu cantik dan halus dalam frame berbeda dalam menampilkan sosok Anies. Dengan menggunakan teknik flaming asosiasi, Kompas menggabungkan gambar Anies di KPK yang diberi caption (deskripsi tentang gambar) dalam satu kesatuan narasi berita terkait bebasnya 23 koruptor. Dengan begitu, pembaca akan punya asosiasi Anies menjadi bagian yang tak terpisahkan dengan berita.
Lantas, kenapa Anies harus di-framing? Pemuatan gambar Anies pada harian Kompas (8/9/2022) adalah rentetan yang berawal dari dan disebabkan oleh kontestasi politik yang tak berkesudahan. Publk menilai Kompas sudah berpihak dan bermain politik praktis. Bukan hanya Kompas. Hampir semua peristiwa yang berkaitan dengan Anies selalu muncul narasi negatif guna menjegal pencalonannya. Kompas sudah termasuk dalam lingkaran itu.
Ada beberapa faktor bisa dirujuk sebagai penyebabnya. Pertama, Anies adalah sosok kepala daerah yang menepati janji politik kepada warga Jakarta. Dalam membangun kota Jakarta, Anies memberi conton bagaimana seharusnya menempatkan kepentingan warga kota di atas segalanya. Anies selalu hadir melakukan advokasi warganya baik dalam hal memberi ruang partisipasi yang cukup besar sehingga kegiatan itu bisa terselenggara dengan aman. Dalam pemahaman selaku pemimpin suatu wilayah, tugas Gubernur bukan hanya memberikan pelayanan terbaik bagi warganya dan memastikan kegiatan pembangunan berjalan sesuai aturan. Tapi mesti pula hadir di tengah-tengah warganya. memberikan pemahaman aparaturnya maupun warga sipil yang terlibat bahwa pembangunan kota hanya akan berhasil bila dikerjakan bersama lewat kolaborasi.