Scroll untuk baca artikel
Blog

Anies Tonton Dokumenter Kejatuhan Rezim, Siapa yang Disindir?

Redaksi
×

Anies Tonton Dokumenter Kejatuhan Rezim, Siapa yang Disindir?

Sebarkan artikel ini

SELALU tak kehabisan akal dan kecerdasan dalam menyampaikan sebuah kritik atau sindiran. Itulah Anies Rasyid Baswedan, mantan Gubernur DKI Jakarta yang sampai saat ini masih ditakuti lawan politik dan buzzer bayaran.

Padahal, Anies tak memiliki kekuasaan. Tanda tangannya sudah tak berlaku. Anies adalah seorang pengangguran menurut definisi Badan Pusat Statistik (BPS). Dan sebagian orang yang mungkin dulu menjilatnya sudah menjauhinya.

Tapi mengapa Anies sampai sekarang masih ditakuti? Lembaga survei selalu menempatkan elektabilitas Anies di urutan ketiga. Sementara Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo selalu menempati pamuncak. Dalam bahasa tukang survei kalau pemilu dilaksanakan hari ini Ganjar menang satu putaran!

Lagi-lagi, entah kenapa kekhawatiran dengan Anies itu seperti telah menjelma menjadi ketakutan. Publik pun bergumam, “Di negeri ini berarti ada yang salah!”

Pagi ini saya iseng melihat postingan Instagram Anies di akun pribadinya. Seperti biasa, caption-nya tentang kisah keseharian yang dibuat narasi dan selalu membuat orang tertarik untuk membacanya.

Narasi yang membuat pembacanya terhibur, tercerahkan dan terinspirasi. Bukan tentang keseharian yang banal dan sampah cerita.

Anies membuka kisahnya dengan cerita, “Menghabiskan awal tahun bersama Mikail dengan menonton The Edge of Democracy (2019) di Netflix. Dokumenter yang dibuat oleh Petra Costa, sineas perempuan milenial dari Brasil, bercerita tentang erosi demokrasi dan perjalanan politik Lula da Silva sebagai Presiden.”

Dari alinea pertama sudah terbaca arah film dan kemana arah kritikan yang bakal disampaikan Anies.

Lula adalah oposisi sekaligus mantan presiden Brasil yang terpilih kembali memimpin Negeri Samba dalam pemilu yang sangat ketat dan dibombardir berbagai fitnah keji.

Lula sempat difitnah korupsi dan masuk bui.

“Dokumenter ini lalu bercerita tentang upaya penyingkiran terhadapnya melalui pengadilan yang kontroversial atas tuduhan korupsi walau pada 2021 Mahkamah Agung membatalkan hukumannya,” tulis Anies.

“Kejatuhan Lula dan erosi demokrasi di Brasil membuka jalan bagi Jair Bolsonaro,” tambahnya.

Dalam pemilu yang baru lalu, Jair Bolsinaro, sang petahana digulingkan Lula lewat pemilu yang sangat melelahkan dan menghabis energi publik.

Disampaikan Anies, menonton dokumenter ini mengingatkan pada buku How Democracies Die, bahwa ada tiga tahap untuk melemahkan demokrasi secara perlahan dan tak disadari.

Pertama, “kuasai wasitnya”. Ganti para pemegang kekuasaan di lembaga negara netral dengan pendukung status quo.

Kedua, “singkirkan pemain lawan”. Singkirkan lawan politik dengan cara kriminalisasi, suap, atau skandal.

Ketiga, “ganti aturan mainnya”. Ubah peraturan negara untuk melegalkan penambahan dan pelanggengan kekuasaan.

Pelemahan demokrasi secara perlahan seperti itu dapat sebabkan “shifting baseline syndrome”, yaitu perubahan secara bertahap dan perlahan hingga publik menjadi terbiasa dengan kondisi barunya yang sebenarnya buruk.

Kondisi yang penuh oleh praktik yang dulunya dipandang tidak normal dan tidak boleh dinormalkan dalam demokrasi, tapi karena perburukannya berlangsung perlahan maka tanpa disadari dianggap sebagai kewajaran baru.

Dari dokumenter ini dunia belajar bahwa demokrasi tidak boleh “taken for granted”, tapi harus terus dirawat. Penyimpangan walau hanya kecil namun kontinyu terhadap etika dan praktik demokrasi akan menjadi lebar bila dibiarkan.

“Pesan pentingnya bila terlambat maka akan menjadi terlalu berat untuk dikembalikan pada relnya,” Anies mengingatkan.