Dalam pada itu, mudik dan Idul Fitri tidak jarang berubah menjadi instrumen reproduksi nilai, perilaku atau gaya hidup (life style) negatif. Seperti pamer kemewahan, materialisme, hedonisme di kampung halaman. Dampaknya menstimulus masyarakat desa untuk menjiplak untuk juga bersikap materialistik dan hedonistik dari orang kota (pemudik). Atau bermigrasi ke kota untuk menggapai sukses. Bahkan tanpa bekal keterampilan memadai, sekalipun.
Hal yang tidak kalah pentingnya adalah nilai-nilai kejujuran yang menjadi salah satu esensi ramadhan belum sepenuhnya build in atau mengalami proses kulturisasi (culturized) dengan perilaku sebagian kaum puasa (shoimin), khususnya di kalangan elitnya. Hal ini dibuktikan dengan makin menguatnya hipokrisi yang dipertontonkan oleh sejumlah elit secara telanjang mata kepada publik. Hal ini bukan saja berdampak kepada terjadinya krisis keteladanan, juga terhadap krisis keberagamaan.
Perpendek Paradoks
Apa yang coba diilustrasikan secara sederhana tersebut telah berlangsung lama, dan mengalami involusi sedemikian rupa. Sehingga seolah-olah, sebagian umat tidak pernah mampu belajar dengan sepenuh hati, semaksimal dan seefektif mungkin untuk melaksanakan ibadah puasa selama sekitar sebulan lamanya secara kalkulatif dan berkualitas untuk menjadikan ramadhan dan Idul Fitri sebagai instrumen transendensi, liberasi, humanisasi, modernisasi umat dan bangsa, dan sebagainya.
Sebulan lamanya (ramadhan) bukan jangka waktu yang sedikit, melainkan lama. Pada masa itu sebenarnya bisa banyak aktivitas dan prestasi yang dapat ditorehkan. Tetapi akhirnya terasa menjadi muspro, sia-sia atau kembali ke titik semula (seperti bukan bulan ramadhan) sebagai akibat kita acapkali gagal atau tidak mampu sepenuhnya mereguk hikmah terdalam dari bulan ramadhan untuk perbaikan kualitas umat dan bangsa dalam berbagai aspeknya.
Oleh karena kita tidak menginginkan ramadhan dan Idul Fitri tahun ini berlalu begitu saja, maka ikhtiar untuk memperkecil atau memperpendak anomali atau paradoks antara idealitas ramadhan dengan realitas prilaku sebagian umat yang masih cenderung negatif atau tidak mampu menangkap spirit ramadhan, harus tetap dilakukan dan diamplifikasi dengan sungguh-sungguh, nyata, dan bertanggungjawab, baik secara individu dan kolektif. Wallahu ‘alam bissawab. [rif]