Vaksinasi dinilai sebagai cara untuk menciptakan kekebalan atau melindungi tubuh dari infeksi Covid-19. Para pakar kesehatan merekomendasikan seluruh warga dunia melakukan vaksin agar pandemi segera berakhir.
Pemerintah di sejumlah negara, termasuk Indonesia, kemudian membuat program vaksinasi bagi warganya. Pelaksanaan vaksinasi di Indonesia sudah berjalan sejak Januari 2021 dan akan berlangsung hingga Maret 2022.
Indonesia menggunakan tiga jenis vaksin yaitu Sinovac, AstraZeneca, dan Sinopharm. Ketiganya merupakan vaksin impor yang masing – masing memiliki efikasi 65, 3 persen, 70,4 persen dan 97, 62 persen.
Hingga Jum’at (9 /7/2021), pemerintah telah menyuntikkan 50,6 juta dosis vaksin virus corona Covid-19. Dengan rincian 35,8 juta orang telah menerima vaksin dosis pertama dan 14,9 juta orang sudah mendapat vaksin dosis kedua.
Pemerintah menargetkan vaksinasi kepada 181, 5 juta orang pada akhir 2021. Dengan begitu, mereka percaya akan membentuk kekebalan kelompok (herd immunity) yakni situasi di mana sebagian besar masyarakat terlindungi atau kebal terhadap penyakit tertentu. Setelah itu kelompok masyarakat yang rentan dan bukan sasaran vaksinasi akan terlindungi.
Faktanya hari ini, banyak orang yang sudah melakukan vaksinasi lengkap tetap terinfeksi Covid-19. April lalu, istri Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Atalia Praratya terkonfirmasi positif Covid-19. Ia sudah menjalani vaksinasi dua kali.
Satu bulan kemudian, pasangan crazy rich asal Malang, Gilang Widya Pramana atau yang dikenal Juragan 99 dan Shandy Purnamasari juga mengabarkan positif Covid-19. Mereka berdua sudah tuntas melakukan vaksinasi Covid-19.
Dari data yang dihimpun oleh Tim Mitigasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), diketahui 949 tenaga kesehatan meninggal karena Covid-19, di antaranya 20 dokter dan 10 perawat telah menerima vaksin Sinovac.
Minggu (4/7/2021), melalui laman Facebook pribadinya, pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Andreas Harsono, mengumumkan jika istrinya positif Covid-19 usai tes antigen. Beberapa hari kemudian, Andreas mengabarkan jika ia dan putrinya juga positif. Praktis mereka bingung dari mana tertularnya dan padahal sudah vaksinasi Sinovac komplit.
Kondisi ini menjadi pertanyaan besar, “Apakah vaksin bisa menjadi solusi berakhirnya pandemi?”
Melansir media Times of India, banyak juga masyarakat di negara Bollywood itu yang terinfeksi Covid-19 meski sudah divaksin. Penyebabnya adalah masyarakat menjadi abai dan tidak mematuhi protokol kesehatan (prokes), tidak mengikuti aturan setelah vaksinasi yang dianjurkan dokter, tidak mendapat dosis kedua tepat waktu, dan adanya penghalang kekebalan.
Para ahli kemudian mengungkapkan jika vaksinasi bukanlah akhir dari virus. Vaksinasi hanya melindungi kita dari efek berbahaya virus. Infeksi bisa terjadi kapan saja, vaksinasi hanya menangkal masalah serius dari pemicunya. Artinya vaksinasi hanya mengubah dari infeksi parah menjadi infeksi ringan.
Nyatanya, tiga teman saya positif Covid-19 meski sudah vaksinasi lengkap. Salah satu dari mereka malah cukup parah, sudah lebih dari dua minggu belum juga membaik.
“Kayaknya Covid-19 ini nggak bisa disepelein. Gue udah vaksin lengkap, masih parah-parah aja,” tulis teman di Instagram Stories miliknya.
Ahli virologi Prof. Dr. Chaerul Anwar Nidom, drh., MS tidak sepakat dengan program vaksinasi. Karena menurutnya tidak ada dalam sejarah pandemi yang menggunakan pendekatan vaksinasi.
Virus seharusnya tidak ditantang dengan antibodi, tapi dikendalikan oleh sistem imunitas. Apalagi sifat virus penyebab Covid-19 mudah beradaptasi. Kecepatan virus ini tidak bisa diikuti oleh penyiapan vaksin konvensional.
“Kalau misalnya mau diganti formulasi vaksinnya, karena virus sudah berubah, enggak bisa, karena ini membutuhkan rangkaian pembuatan vaksin yang cukup panjang. Mungkin 3 bulan, 6 bulan, 1 tahun, 2 tahun bahkan 10 tahun,” katanya pada wawancara bersama mantan Menkes RI Dr. dr. Siti Fadilah Supari, Sp.JP di kanal YouTube Siti Fadilah Supai Channel, tiga minggu lalu.
Sementara tujuh vaksin yang sudah saat ini basisnya adalah virus Wuhan, yang tentu saja tidak bisa mengejar kecepatan mutasi virus. “Jumlah mutasi virusnya saja sekarang sudah 4.000 dan di Indonesia baru 200 yang ditemukan,” timpal Siti Fadilah.
Prof. Nidom melanjutkan konsep vaksin sudah meresap di masyarakat. Sehingga masyarakat tahunya, jika sudah vaksin bisa menangkal virus. Padahal tidak semua virus bisa divaksin dan tidak semua vaksin bagus untuk virus.
Ia menegaskan kembali jika virus memiliki suatu perilaku tergantung pada sistem di lingkungan. Tatkala ada sesuatu yang mendorong virus “naik” maka dia bisa menginfeksi seseorang. Pada saat menginfeksi seseorang, virus ini sudah adaptif dengan tubuh manusia, sehingga mudah untuk menular.
Melihat kembali pada kejadian di Wuhan, pada saat itu memakai masker belum menjadi kebiasaan. Hal ini yang menyebabkan penularan virus yang sedemikian cepatnya.
“Perang menghadapi virus tidak perlu nuklir. Kadang-kadang ada virus yang cukup dengan bambu runcing. Tak perlu senjata mahal,” ujarnya.
Bambu runcing itu adalah masker. Barang ini bisa menjadi pertahanan utama untuk melindungi diri dan orang lain dari serangan virus. Dengan kita menutup virus tidak masuk ke dalam saluran pernapasan atau reseptor, maka virus akan mati di luar.
Di Jepang, masker sudah menjadi kebiasaan bahkan sejak sebelum pandemi Covid-19 ada. Jika sakit, masyarakat akan memakai masker agar tidak menulari orang lain. Tak heran jika kematian akibat Covid-19 di negara ini rendah. Selain itu komorbid juga diperhatikan oleh pemerintah.
“Sekarang yang diperlukan adalah sosialisasi bagaimana masker bisa menjadi budaya atau kebiasaan seperti di Jepang,” ucapnya
Sampai saat ini belum ada vaksin yang bisa 100 persen melindungi kita terhadap virus. Bahkan ketika sudah divaksinasi, kita harus mengikuti aturan keamanan. Memakai masker, mencuci tangan dan menjaga jarak.
“Divaksin atau tidak divaksin tidak mengurangi risiko bahkan meningkatkan risiko karena abainya orang yang divaksin. Akibat vaksin, virus ditantang mati, tidak semua makhluk di dunia ini yang mau mati sia-sia, pasti melawan,” tambah Prof. Nidom.
Jadi kesimpulannya, vaksinasi bukanlah satu-satunya solusi untuk mengakhiri pandemi. Pemaksaan melakukan vaksinasi kepada masyarakat justru akan menjadi masalah baru.
Kita bisa melihatnya sekarang, masyarakat panik, mereka berebut mendapat vaksin hanya sebagai syarat agar bisa pergi ke kantor, melakukan perjalanan ke luar kota dan mendapat Surat Izin Mengemudi (SIM). Mereka berkerumun tapi abai terhadap prokes. Belum lagi soal pemalsuan dokumen yang akhir-akhir ini marak, demi mendapakan vaksin.
Dan vaksinasi sebaiknya berangkat dari sukarela karena pemahaman seseorang terhadap manfaatnya, bukan karena “diperkosa” oleh negaranya sendiri.
Diskusi tentang post ini