Kesulitan besar akan dialami dalam pengelolaan APBN 2023 jika BI berhenti menyerap SBN. Pemerintah akan menghadapi kesulitan sumber pembiayaan anggaran.
International Monetary Fund (IMF) merekomendasikan Bank Indonesia (BI) memberi bantuan pembiayaan anggaran hanya sampai tahun 2022. BI diminta tidak menambah pemberian utang melalui pembelian Surat Berharga Negara (SBN) lagi pada tahun selanjutnya. Jika dituruti, tentu akan berdampak besar pada kondisi Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
Sebenarnya, Pemerintah dan BI sejauh ini memang menyepakati skema berbagi beban dalam pembiayaan APBN hingga tahun 2022 saja. Namun, sebagaimana yang terjadi pada tahun 2021 dan 2022, memang tidak tertutup kemungkinan dilanjutkan dengan skema sama atau skema baru.
Dampak pandemi terhadap APBN telah memaksa Pemerintah berutang jauh lebih besar dibanding sebelumnya. Instrumen utamanya melalui penerbitan SBN. Terutama SBN domestik atau yang berdenominasi rupiah.
Sebagian besar SBN domestik bersifat bisa diperdagangkan. Posisinya per 31 Desember 2021 mencapai Rp4.678,98 triliun. Bertambah Rp1.926,24 triliun jika dibanding sebelum pandemi, posisi 31 Desember 2019 yang sebesar Rp2.752,74 triliun. Meningkat 70% dalam waktu dua tahun.
Tambahan dan posisi tersebut bersifat neto. Nilai penerbitan SBN bruto tercatat lebih besar, karena sebagian SBN telah dilunasi selama kurun waktu itu. Berdasar data perkembangan masa lalu, pasar SBN dipastikan tidak akan mampu menyerap seluruh penerbitan.
Otoritas ekonomi kemudian mengambil kebijakan membolehkan BI membeli SBN di pasar perdana. Sebelumnya, setelah era program rekapitulasi perbankan, BI hanya memiliki SBN melalui pasar sekunder. Dengan kata lain, Bank Indonesia kemudian secara aktif dan langsung memberi utang kepada Pemerintah.
Skema pembelian SBN di pasar perdana beragam, sesuai perkembangan kondisi sepanjang tahun 2020 dan 2021. Antara lain berupa penempatan langsung (private placement), lelang, dan lelang tambahan. BI juga tetap aktif membeli dan menjual SBN di pasar sekunder.
Beban bunga yang dibayar APBN atas kepemilikan BI pun disesuaikan dengan skemanya. Ada SBN yang tidak berbunga, berbunga rendah mengikuti suku bunga acuan BI, dan ada yang sesuai pasar. Dalam hal beban bunga ini, publik dijelaskan sebagai kebijakan “berbagi beban”.
Kepemilikan BI atas SBN domestik pun menjadi meningkat pesat, mencapai Rp1.220,73 triliun per 31 Desember 2021. Merupakan 26,09% dari seluruh SBN domestik yang diperdagangkan. Padahal, hanya sebesar Rp262,49 triliun dengan porsi 9,93 % per 31 Desember 2019. Porsinya hanya di kisaran 9% selama bertahun-tahun sebelumnya.
Pada tahun 2020, SBN domestik secara neto bertambah Rp1.118,02 triliun. Diserap oleh BI sebesar Rp601,67 triliun atau 54% nya. Pada tahun 2021, bertambah Rp808,22 triliun dengan serapan BI sebesar Rp triliun atau 42,79%.
Kebutuhan SBN neto pada tahun 2022 menurut APBN sebesar Rp991 triliun. Tidak dinyatakan secara definitif tentang nilai penerbitan SBN bruto, karena adanya fleksibilitas pengelolaan secara teknis, seperti pelunasan sebelum waktunya (buyback). Diprakirakan di kisaran Rp1.400 triliun, lebih banyak dibanding tahun 2021 yang sebesar Rp1.301,65 triliun.
Tidak dipastikan berapa nilai penerbitan bruto SBN domestik. Pada tahun 2021, SBN domestik mencapai Rp1.143,61 triliun dan SBN valuta asing sebesar Rp158,04 triliun. Diprakirakan penerbitan SBN domestik bruto sekitar Rp1.250 triliun pada tahun 2022.
Pemerintah dan BI tampak mulai berupaya keras agar porsi penyerapan oleh BI makin berkurang. Hal itu tidak mudah mengingat kondisi pasar SBN selama tahun 2021 lalu hingga saat ini. Jika kondisi sesuai harapan pun, BI masih harus menyerap sekitar 30% dari penerbitan SBN bruto tahun 2022.