Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Arah Perjuangan

Redaksi
×

Arah Perjuangan

Sebarkan artikel ini

Dalam bukunya, Identitas Politik Umat Islam, Dr. Kuntowijoyo mengungkapkan bahwa epistemologi Islam itu adalah epistemologi relasional. Ada keterkaitan urusan duniawi dengan ukhrawi. Sebagaimana doa “sapu jagad” yang saban hari kita lantunkan: rabbana atina fid-dun-ya hasanah wa fil akhirati hasanah. Ada hubungan berkelanjutan antara kepercayaan dan kebajikan. Antara iman dan amal saleh. Hablun minallah wa hablun minannas

Ditandaskannya pula oleh almarhum guru besar sejarah UGM itu, berkat epistemologi relasional sedianya umat Islam terselamatkan dari sekularisasi subjektif dan objektif.

Sekularisasi subjektif adalah pemutusan pengalaman keagamaan dengan pengalaman sehari-hari. Sementara sekularisasi objektif terjadi tatkala dalam kenyataan sehari-hari agama sudah dipisahkan dari gejala yang lain, dari ekonomi, politik, dan seterusnya.

Kesadaran relasional ini maujud karena konsep ummatan wasathan yang begitu melekat dalam benak umat Islam. Bahwa umat Islam adalah umat yang terletak di tengah. Bahwa persis berdiri di tengah itu bisa dengan menggabungkan yang terbaik dari dua kutub yang bertentangan. Bahwa berada di tengah juga bisa dipahami dengan tidak mendayung “bukan ini” dan “bukan itu”. Bukan kapitalisme dan bukan sosialisme.

Seperti apa persisnya, akan terus berkembang tafsirnya, tapi yang jelas, sejarah menunjukkan Islam lahir di Timur Tengah, yang terletak persis di tengah-tengah peradaban Barat (Romawi) dan Timur (Persia). Dan Islam menundukkan dua imperium tersebut. Bahkan Islam gilang-gemilang mengambil dan mengembangkan sari dari dua peradaban itu.

Nah, dengan teori pengetahuan relasional itulah, Islam tidak semata “agama” yang sebatas urusan akhirat. Namun, Islam juga sebuah komunitas tersendiri, yang memiliki pemahaman, kepentingan dan tujuan politik yang hendak diwujudkan, hendak diperjuangkan.

Dari situlah, Islam, selain kukuh dengan ritual ibadah mahda, juga mengetengahkan konsep pemihakan, terkait siapa dan kelompok mana yang mesti dibela, yaitu kaum dhu’afa dan mustadh’afin.

Dr. Kuntowijoyo menjelaskan istilah dhu’afa sebagai kesenjangan natural atau kesenjangan alamiah, atau kemiskinan. Suatu perbedaan keadaan umat manusia yang terjadi secara alamiah, atau lazim disebut sunnatullah.

Bahwa memang jelas akan berbeda, seseorang yang dilahirkan dekat dengan jalan raya besar dengan yang dilahirkan di pulau terpencil. Bahwa akan berbeda, yang kebetulan dilahirkan dari rahim keluarga kaya dengan yang dilahirkan dari keluarga miskin. Akan ada perbedaan, karena perbedaan kepandaian, perbedaan nasib, dan sebagainya.

Yang diperlukan dalam mengatasi kesenjangan alamiah atau kemiskinan, menurut Pak Kunto, sapaan yang biasa ditujukan kepada Dr. Kuntowijoyo, adalah terbukanya kran untuk mobilitas sosial. Dan, zakat, infak, serta shadaqah efektif untuk mengatasi kesenjangan natural ini. Kemudian, jenis politik yang mesti diusung oleh para pemangku kebijakan: tidak adanya campur tangan negara dalam urusan keagamaan.

Selanjutnya, istilah mustadh’afin, Pak Kunto menerjemahkannya sebagai kesenjangan struktural, atau cukup dengan diksi “kesenjangan”. Berbeda dengan kemiskinan, di mana negara tidak campur tangan dengan urusan agama, menghadapi kesenjangan justru diharuskan campur tangan aktif dari pemegang kekuasaan. Karena latar kesenjangan berbeda dengan kemiskinan.

Kesenjangan terjadi karena preferensi politik. Adanya campur tangan kekuasaan yang memuluskan proyek-proyek buat pemodal besar. Adanya pembedaan yang ditetapkan penguasa terhadap konglomerat dan cukong berkantong tebal dengan kelompok usaha menengah dan kecil.