PENYAIR Dyah Setyawati dalam status FB nya melempar ide arisan puisi. Sontak saya jadi ingat arisan teater di Yogya pada 1980-an. Grup-grup teater bergabung, lantas giliran grup mana yang pentas di kampungnya. Itu khusus di Yogya. Tentu lengkap dengan kopi dan nyamikan.
Lalu bagaimana dengan ide Dyah. Apakah akan seperti itu, dan hanya berlangsung di Tegal. Atau mungkin se Pantura. Saya pikir seperti tulis Dyah: akan asyik. Terutama karena konsep kampung itu. Puisi dibacakan di kampung, di tengah-tengah warga kampung. Mungkin tingkat RT, RW atau kelurahan/desa.
Dari konsep ini bisa jadi akan ada pergerakan di bidang puisi. Puisi yang dibacakan tidak lagi puisi-puisi ‘gelap’, tapi puisi tentang kehidupan masyarakat senyatanya. Puisi-puisi tentang “keluh tetangga kurang air”, tulis Subagyo Sastrowardoyo. Atau tentang persoalan apa saja yang dihadapi warga desa/kelurahan.
Di sini puisi akan lebih bisa berbicara. Tidak terus menghamba pada estetika lirisisme model Emily Dickinson dan anak cucu turunnya sedunia. Estetika akan menemukan kedaulatan dan kemerdekaannya. Dan penyair tidak lagi terkungkung dengan anutan tunggal estetika yang memenara kanon.
Penyair yang mendapat giliran di kampungnya akan membacakan puisi-puisinya, juga dibacakan oleh para penyair yang hadir. Lebih asyik lagi kalau penyair tergilir mengordinir warga untuk ikut serta membacakan puisinya. Setelah itu ada pembahasan dan diskusi.
Pembahasan puisi tentulah tidak lagi menurut teori tunggal estetika, tapi ada pembebasan tafsir atau interpretasi. Untuk itu bisa jadi ada pembanding dari disiplin ilmu di luar sastra. Mungkin dari politisi, pengusaha, ahli hukum, polisi atau TNI, dst.
Dengan demikian puisi dan sastra, dimulai dari lingkup kecil, akan menemukan kebebasan berkarya dan kemerdekaan keindahan. Bagaimana masyarakat diajak memahami keindahan sebenarnya. Bukan keindahan tunggal yang telah menjadi kemewahan.***