BUDAYAWAN Pantura Atmo Tan Sidik punya kebanggaan terhadap pecinya. Peci anyaman rotan Gorontalo, yang berbeda dengan anyaman bambu. Anyaman bambu Kasongan kira-kira seharga 60 ribu. Kalau peci Gorontalo seharga 180 ribu.
Tapi bukan soal rupiah yang jadi soal, tapi nilai riwayat di baliknya. Peci Gorontalo Atmo semula punya Gus Dur. Dan peci itu punya perjalanan panjang sekaligus spiritual hingga sampai ke kepala Atmo.
Dimulai dari cerita saat Gus Dur sebagai presiden mau diamandemen. Pada saat itulah Pihak Istana mengundang tiga orang untuk menjadi penyeimbang atau pereda emosi Gus Dur. Tiga orang itu yakni Gus Mus, Jayasuprana dan Ki Enthus Susmono.
Saat itulah Enthus melihat peci Gus Dur, dan dia kontan berkata sebagai pembuka tugasnya sebagai penghibur, “bagus sekali peci Gus Dur.” Lalu jawab Gus Dur, “ya ini peci Gorontalo, monggo ini buat Ki Dhalang.”
Enthus sempat menolak, “ah, nggak usah, Gus, peci itu cocok untuk Gus Dur.” Gus Dur sontak menyahut, “karena kepala kita sama, maka peci ini saya serahkan.”
Cerita itulah yang menjadi jawaban Enthus, kala Atmo melihat peci itu di kepala Ki Dhalang. Kontan Atmo ingin memiliki peci Gus Dur itu. Tapi Enthus punya syarat, peci ini boleh diambil asalkan Atmo mampu membacakan 17 sholawat.
Atmo pun melafalkan 17 sholawat Nabi yang diam-diam ingin dihapalnya. Ki Enthus minta Atmo mengulangnya, dan Atmo manut mengulangnya. Ki Enths minta mengulang lagi, sambil bilang mau direkam, tapi Atmo menolak dengan alasan angka 17 mengandung misteri
Demikian karena kadung janji, peci Gus Dur diserahkan. Sehingga hingga kini nangkring di kepala Atmo. Dalam setiap awal pertemuan dengan kerabat, Atmo selalu melepas peci itu sambil berkata, “ini peci Gus Dur.”
Tak jarang pula saat duduk sebagai pembicara, budayawan Pantura itu mengenalkan peci di kepalanya kepada hadirin: hadirin yang terhormat, ini peci Gus Dur.***