Ayyalasomayajula Lalitha melawan arus. Meski banyak yang memandang rendah kaum perempuan saat itu, dia menjadi insinyur pertama di India.
BARISAN.CO – Pada tahun 1940-an, ketika sebagian besar perempuan di India tidak bisa mengenyam pendidikan dasar bahkan berpikir untuk berkarir, Ayyalasomayajula Lalitha menulis sejarah dengan menjadi insinyur pertama di negara itu.
Sejak kecil, Lalitha mengamati diskriminasi antar gender. Bahkan, di rumahnya sendiri, dia diperlakukan berbeda dengan saudara laki-lakinya.
Perempuan kelahiran 1919 ini berasal dari kelas menengah. Dia adalah kelima dari tujuh bersaudara.
Menurut norma saat itu, Lalitha hanya diizinkan belajar sampai kelas 10. Kemudian, di usia 15 tahun dia dinikahkan.
Seorang anak perempuan lahir dari pernikahan itu. Putrinya bernama Syamala. Namun, nasib nahas harus dihadapi oleh Lalitha, suaminya meninggal, empat bulan setelah kelahiran putrinya.
Dia pun menjadi janda muda. Saat itu, kehidupan seorang janda sangat kompleks. Kehidupannya dibatasi, mereka tidak diperbolehkan memakai pakaian pilihannya atau apapun yang menarik.
Kehidupannya semakin berat karena ibu mertuanya melampiaskan rasa frustasinya kepada Lalitha. Dia enggan merenungi nasib buruk yang dihadapi. Justru, dia terbakar semangat untuk mendidik dirinya sendiri, berdiri di atas kakinya dan memberi makna pada hidupnya.
Mengutip Better India, Syamala berkata, “Ketika ayah saya meninggal, Ibu harus menderita lebih dari yang seharusnya. Ibu mertuanya telah kehilangan anak ke-16 dan menghilangkan rasa frustasinya kepada janda muda itu. Namun, ibu saya memutuskan untuk tidak menyerah pada tekanan sosial”.
Lalitha memutuskan untuk mengambil jurusan teknik karena akan memberinya pekerjaan dari jam 9 pagi hingga 5 sore sehingga dia punya waktu bagi putrinya.
Mengikuti jejak ayah dan saudara laki-lakinya, Lalitha memilih menjadi insinyur. Namun, penting untuk dicatat, di masa-masa itu, amat sulit bagi perempuan untuk maju yang memilih belajar teknik.
Atas kegigihannya, dia diterima di College of Engineering, Guindy, University of Madras berkat dukungan profesor Teknik Elektro, RM Statham. Ini juga menjadi sejarah lain di India, perguruan tinggi menerima perempuan di bidang teknik.
Lalitha memang mendapat dukungan dari sesama mahasiswa, namun dia merasa kesepian karena tidak ada perempuan lain di sana. Dia merasa terasing.
Selama melanjutkan pendidikan tinggi, Syamala tinggal dengan pamannya dan Lalitha akan datang berkunjung setiap akhir pekan.
Para pejabat kampus menyadari bahwa Lalitha kesepian dan berinisiatif untuk membuka penerimaan siswa perempuan dan memberikan kesempatan kepada mereka untuk mengambil jurusan teknik di CEG. Setelahnya, Leelamma George dan PK Thresia bergabung.
Lulus dari CEG, Lalitha mulai bekerja dengan Central Standard Organization di Shimla. Lalu bekerja dengan ayahnya di Chennai untuk membantu menciptakan jelectromonium (alat musik listrik), penghasil api listrik, dan oven tanpa asap.
Kemudian, dia memutuskan menetap bekerja di Associated Electrical Industries, Kolkata. Tahun 1953, dia dipilih menjadi anggota asosiasi oleh Council of the Institution of Electrical Engineers (IEE) di London.
Tahun 1964, dia diundang ke Konferensi Internasional Insinyur dan Ilmuwan Wanita (ICWES) pertama di New York. Meski memiliki jabatan yang dihormati, Lalitha tidak pernah meninggalkan putrinya.
Bagi Syamala, ibunya adalah sosok inspirasi bukan hanya untuknya, namun jugga bagi banyak anak perempuan di India.
“Apa yang saya ambil dari hidupnya adalah kesabarannya yang ekstrem terhadap orang-orang. Dia tidak pernah menikah lagi dan tidak pernah membuat saya merasakan ketiadaan seorang ayah dalam hidup saya. Dia percaya, orang-orang datang ke dalam hidupmu karena suatu alasan dan pergi karena tujuannya selesai,” ujar putri Lalitha tersebut.