RUBRIK resensi atau tinjauan buku sudah lenyap dari halaman media cetak di Indonesia seiring disrupsi yang menggila. Koran yang masih bertahan hanya tinggal 20 atau 16 halaman itu sambil menunggu eksekusi mati, mana peduli dengan rubrik buku. Ketika mereka di masa jayanya pun paling rubrik buku hanya nyempil di seperempat halaman.
Harian Republika sudah hampir sebulan yang lalu mendeklarasikan dirinya dan pamit dari medium kertas menjadi digital sepenuhnya.
Perubahan platform memang bukan hanya di Indonesia tetapi juga fenomena dunia. Namun, gaya membaca yang berubah karena revolusi internet yang sangat masif, di Indonesia tidak dibarengi budaya baca buku.
‘Tragedi’ budaya baca yang rendah tersebut terwujud tidak adanya media daring arus utama yang mendedikasikan halaman atau rubriknya untuk buku (ulasan buku, penerbit, pengarang, sejarah toko buku dan komunitas).
Ini pertanda memang peminat buku sangat rendah. Indikator sebuah rubrik dihadirkan dalam era media daring adalah untuk menarik sebanyak mungkin viewer dengan sejumlah istilah turunan teknis lainnya.
Ketiadaan rubrik buku sebagai pertanda awal bahwa memang minat baca buku di Indonesia sangat rendah.
Sampai-sampai mantan Direktur TVRI Helmy Yahya yang bergerak dalam literasi, berteriak lantang dalam akun pribadinya yang meminta pemerintah tidak hanya fokus kepada pemberantasan stunting tetapi juga harus meningkatkan literasi publik.
Helmy bersama komunitasnya mengaku miris dengan jumlah terbitan buku yang tidak sebanding dengan jumlah penduduk di Indonesia. Helmy sangat geregetan dengan Pemerintah dan juga masyarakat yang menganggap sepele buku dan budaya baca. Helmy merasakan sendiri hidup dan kariernya seperti sekarang atas andil guru yang baik dan juga karena sangat gila dengan buku yang bermutu.
Jumlah penduduk Indonesia sebanyak 270 juta jiwa. Sementara judul buku yang diterbitkan tiap tahun tak sampai 500 judul atau sampai 1 juta judul. Tahun 2022 saja seperti dilansir dari situs Perpusnas hanya menerbitkan 98.670 judul. Itu pun mungkin setengahnya yang bermutu selebihnya modul dan buku teks.
Ketika saya menengok media arus utama di Amerika Serikat seperti The New York Times atau Washington Post dan di Inggris seperti The Guardian mereka memiliki rubrik buku. Ya, mereka menyediakan rubrik itu karena memang pembacanya banyak dan masyarakatnya juga memiliki budaya baca yang tinggi.
Namun, saya tetap cemburu dengan rubrik yang mereka kelola. Mereka tidak hanya meresensi buku secara profesional dan juga ulasan buku komersial tetapi juga mengulik tentang kehidupan pengarang, komunitas pembaca hingga sejarah dan riwayat toko buku legendaris.
Memang minta baca buku di Indonesia sangat rendah. Tetapi tidak selayaknya menjadi alasan tidak adanya rubrik buku di media daring kita. Anggap saja ini bagian dari tanggung jawab sosial dan misi mencerdaskan bangsa lewat media.
Bila setiap media online ada rubrik buku lama-lama pembaca akan menengok juga dan penasaran dengan rubrik dan kontennya.
Mungkin media daring di Indonesia dapat mengadopsi cara The New York Times. Ulasan buku dalam rubriknya selalu terhubung dengan toko buku atau penerbit. Jadi, bila seseorang beli buku lewat tautan ulasan buku maka media tersebut dapat fee dari toko atau penerbit buku.
Mungkin bisa dicoba! [rif]