Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Bagaimana Bitcoin Tidak Ramah Lingkungan

Redaksi
×

Bagaimana Bitcoin Tidak Ramah Lingkungan

Sebarkan artikel ini

Yang perlu disinggung dari pasal itu adalah terutama soal prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan. Ini menarik. Oleh karena hal tersebut, dapat dikatakan UUD 1945 termasuk salah satu green constitution, meskipun nuansa hijaunya masih sangat tipis.

Dalam pada itu, walaupun ongkosnya besar, kian hari produksi rupiah (logam dan kertas) semakin condong bernuansa hijau. Artinya, pencetakan rupiah telah semakin sesuai dengan prinsip pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang bersifat pro lingkungan.

Dari apa yang sejauh ini bisa disimpulkan, maka eksistensi bitcoin memang perlu ditelisik lebih jauh. Perlu ada asesmen berwawasan lingkungan. Apalagi tak sedikit studi menunjukkan konsumsi energi mata uang digital sangatlah boros. Dan harga paling mahal yang harus dibayar adalah kerusakan lingkungan.

Peneliti dari Universitas Cambridge memperkenalkan tool online bernama Cambridge Bitcoin Electricity Consumption Index atau CBECI. Tool ini bisa mengestimasi penggunaan energi Bitcoin secara real time. Bitcoin dipilih sebagai subjek penelitian, karena ia merupakan varian paling populer di antara ribuan jenis mata uang digital yang ada.

Hasil kalkulasi CBECI menunjukkan jaringan Bitcoin mengkonsumsi lebih dari 7 gigawatt listrik. Angka ini setara dengan 64 TWh (terawatt per jam), yang lebih besar dari penggunaan energi Swiss yang sebesar 58 TWh.

Itu berarti, 0,25 persen konsumsi elektrik dunia terserap oleh Bitcoin. Jika diletakkan dalam perspektif, angka ini setara dengan konsumsi energi dari heater ceret kopi elektrik di Inggris selama 11 tahun.

Kenapa Bitcoin boros listrik? Secara sederhana, salah satu cara untuk mendapatkan Bitcoin adalah melakukan penambangan yaitu memecahkan kode persamaan hash. Ketika penambangan dilakukan, dibutuhkan sistem komputer dengan kemampuan prosesor tinggi yang berarti membutuhkan konsumsi energi yang juga tinggi—dan dalam kondisi tak pernah mati.

Sebagai perbandingan, Alex de Vries, konsultan dari PwC dan pendiri situs Digiconomist (sebuah situs analisis Bitcoin), melakukan perhitungan yang sama.

Digiconomist mengklaim aktivitas penambangan global Bitcoin menghabiskan 36,63 Terawatt-jam (TWh) energi listrik pada 31 Desember 2017. Pada tanggal yang sama, penggunaan listrik Bitcoin mendekati angka konsumsi listrik Bulgaria. Menurut estimasi ini juga, setiap transaksi Bitcoin menghasilkan 146,97 kg karbon dioksida.

Kerusakan lingkungan sering kali dapat menjadi semacam check point untuk menunjukkan kepada kita, bahwa hubungan antara inovasi tekonologi dengan perekonomian memang tidaklah selalu mulus. Dan ancaman kerusakan lingkungan oleh aktivitas produksi uang digital seperti ini tidak boleh dianggap enteng. []