Pemerintah harus mengurangi commuting time melalui melalui kebijakan, inisiatif masyarakat sipil, dan masyarakat.Angga Putra Fidrian
BARISAN.CO – Commute time atau waktu perjalanan diartikan sebagai waktu normal yang dihabiskan oleh karyawan untuk perjalanan dari rumah ke kantor. Semakin banyak manusia, semakin membuat frustasi ketika seorang komuter tidak punya pilihan, selain terjebak di tengah kemacetan, preferensi perumahan, atau jarak yang sangat jauh.
Akibatnya, sebelum mulai bekerja, karyawan sudah mulai kelelahan karena waktu perjalanannya tersebut.
Kandidat Master Administrasi Publik dari Baruch College, City University of New York, Angga Putra Fidrian mengatakan, studi dari Time menyebut, waktu perjalanan berimplikasi pada kesehatan, seperti naiknya gula darah, kolesterol tinggi, tingginya risiko depresi, anxiety, menurunnya tingkat kebahagiaan dan kepuasaan hidup, tekanan darah tinggi, berkurangnya kualitas hidup, dan sakit punggung.
“Rata-rata orang commuting time-nya idealnya itu 25,5 menit di mana commute terlama itu 90 menit,” kata Angga dalam Mimbar Virtual: Risiko Jam Kerja Berlebihan pada Rabu (28/9/2022).
Sedangkan, Angga menyampaikan, yang terjadi di Indonesia itu double, di kantornya working hours-nya panjang ditambah perjalanannya juga panjang.
“Yang saya sampaikan itu bisa kota, di Jakarta, Bandung, Surabaya, Medan. Tapi, jangan salah sub-urbanisasi di tier dua juga sudah terjadi, tempat-tempat yang ga kebayang jadi pemukiman itu sudah jadi pemukiman yang menggeser masyarakat dari tengah kota ke pinggir kota,” jelasnya.
Solusi Mengurangi Dampak Jam Kerja dan Waktu Perjalanan yang Panjang
Melihat kondisi ini, Angga memberikan 3 solusi yang bisa dilakukan oleh pemerintah dan masyarakat untuk mengurangi dampak dari jam kerja dan waktu perjalanan yang panjang. Pertama adalah transport aktif. Dia mengambil contoh dari paparan Gubernur DKI tentang RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) beberapa waktu lalu.
“Active mobility itu pendestrian, jalan di trotoar yang bagus, ada jalur sepeda disediakan terproteksi, bike sharing, dan segala macamnya. Jadi, orang yang mau jalan kaki gampang mudah dan accessible dan didukung transportasi publik yang bagus,” ujarnya.
Sehingga, orang ingin berjalan kaki. Namun, menurutnya, apabila hanya trotoarnya, tanpa transportasi publik, maka tidak akan memberikan manfaat apapun kepada siapapun.
Dia mencontohkan, Pemkot Bogor sudah membuat trotoar ke arah Sirkuit Sentul yang sama lebarnya dengan trotor Sudirman-Thamrin, namun ketiadaan transportasi publik membuat orang yang datang tetap menggunakan motor atau mobil.
“Esensi trotoarnya jadi ga ada. Semoga nanti akan ada transportasi publik ke arah sana supaya trotoarnya bisa dimanfaatkan dengan baik,” sambungnya.
Dalam paparannya, Angga menyebut, salah satu konsultan, Jarret Walker menyebut, kota yang ideal adalah kota yang bisa dicapai dalam waktu 45 menit jalan kaki ke semua tujuan, seperti sekolah, bioskop, rumah sakit, kantor, dan lain-lain.
“Sebenarnya, konsep kota satelit di Indonesia sudah seperti itu, sayangnya kota-kota tersebut dibangun dengan jalan-jalan ke car-centric. Kalau di jalan kota, seperti Meikarta, BSD, Sentul City, itu jalannya selalu lebar bahkan lebih lebar dari jalan protokol Sudirman-Thamrin sehingga mendorong orang-orang beli mobil,” lanjutnya.
Angga menambahkan, hal ini diperparah saat negara tidak bisa menyediakan transportasi publik yang baik .
“Budaya ke car-centric ini dibangun developer sehingga kebiasaan untuk jalan kaki ga terjadi, mereka akhirnya kerja ke Jakartanya pakai mobil lagi. Dan, eksternalitas dari penggunaan kendaraan, yang nanggung itu Jakarta,” jelasnya.
Namun begitu, Angga mengungkapkan, eksternalitas dari developer itu membebani kota tujuan yang menjadi tempat kerja orang-orang yang tinggal di sana.