Pada tahun ’90-an, teori-teori Sen tentang kapabilitas individu menjadi dasar metodologis dari alat ukur pertumbuhan ekonomi yang, hari ini kita kenal sebagai Indeks Pembangunan Manusia (IPM).
Bagi Amartya Sen, menjadikan manusia sebagai pendekatan sesungguhnya berkaitan dengan apa yang ia yakini sebagai gagasan dasar pembangunan. Yaitu, memajukan kekayaan hidup manusia ketimbang kekayaan ekonomi di mana manusia hidup. Menurut Sen, kekayaan ekonomi hanyalah satu bagian dari keseluruhan gagasan tersebut.
IPM sendiri pertama kali terpublikasi dalam Laporan Pembangunan Manusia tahun 1990 yang diterbitkan oleh Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP).
Berbeda dari PDB, IPM menekankan pada ‘menjadi’ daripada ‘memiliki’, ‘kecukupan’ daripada ‘kepunyaan’. Ini sebuah beda yang sangat mendasar yang kemudian mengubah jalannya kebijakan berbagai negara. Pada umumnya kemudian, disadari bahwa ‘menjadikan’ masyarakat sehat ternyata lebih berharga daripada membuat mereka ‘memiliki’ kemampuan ekonomi untuk mengakses fasilitas kesehatan.
Dalam catatan resminya, UNDP menyebut pemikiran dasar dari IPM adalah bahwa rakyat merupakan kekayaan yang sebenar-benarnya dari sebuah negara. Dan bahwa tujuan dasar pembangunan adalah untuk menciptakan lingkungan yang memungkinkan orang menikmati hidup panjang, sehat, dan berdaya cipta.
Oleh sebab itulah dalam pengukurannya, IPM fokus meletakkan manusia sebagai basis ukuran. Manusia ditimbang lewat tahapan kunci dalam hidupnya, mulai dari lahir hingga dewasa. Secara rinci dan beriringan, komponen yang dihitung IPM meliputi: 1) peluang hidup anak balita; 2) harapan lama sekolah, serta kualitas dan kuantitas pendidikan; 3) kesehatan, yang memuat usia harapan hidup dan tingkat persoalan stunting pada balita.
Tiga komponen ini berujung pada kesimpulan bahwa pengetahuan, keterampilan, dan kesehatan adalah nilai intrinsik yang memungkinkan manusia turut produktif membangun perekonomian negara. Ringkasnya, kalau tiga komponen ini beres, maka ekonomi beres.
Tentu saja, IPM mendapat tempat karena angka-angkanya membawa pemahaman komprehensif tentang kehidupan sosial. Ia bukan semata angka tunggal seperti PDB. Amartya Sen menyebut analogi menarik soal PDB ini.
Ibaratnya, sebagai angka tunggal PDB menjelaskan seberapa cepat kita melaju. Namun PDB tidak menjelaskan berapa sisa bahan bakar yang tersedia, seberapa jauh mobil masih bisa berjalan, dan berapa panjang jarak yang sejauh ini sudah ditempuh. Dalam hal demikian, maka, IPM merupakan jawaban langsung atas ketidakmampuan PDB mencerminkan sedekat aslinya kondisi masyarakat.