“Sesungguhnya kami tidak akan memberikan kepemimpinan kami ini kepada seseorang yang memintanya atau berambisi terhadapnya.” (HR. Bukhari)
BARISAN.CO – Kedudukan atau bahkan kekuasaan merupakan suatu nikmat yang menghiurkan, terlebih lagi kedudukan yang berhubungan dengan kekuasaan di pemerintahan. Namun taukah Anda tentang bahaya cinta kedudukan?
Perlu diketahui bahwasanya kedudukan dan kekuagaan atau bahkan jabatan di pemerintahan acapkali berhubungan dengan materi atau uang. Seseorang rela jadi pejabat dengan memberikan sejumlah iming-iming baik itu uang atau kelancaran hal lain.
Terlebih lagi di masa pemilihan kepala daerah, seseorang berani mengeluarkan ratusan hingga miliaran rupiah supaya dirinya menjadi pejabat. Bahkan mereka rela berebut suara untuk mendapatkan dukungan. Perebutan tersebut berujung pada kebodohan yang berlarut yakni terjadi saling menghina, mencaci hingga saling merendahkan satu sama lain.
Sesungguhnya agama telah mengajarkan kepada umatnya untuk saling tolong menolong, berbagi dan hubungan muamalah yang baik kepada sesama. Kedudukan dan kekuasaan dalam presprektif Islam sesungguhnya adalah ujian dari Allah Swt.
Ujian tersebut yang hakiki adalah amanah atau kepercayaan yang diembankan kepadanya. Apakah ia mampu menjalankan amanah tersebut, atau malahan ia ingkar dengan apa yang telah dipercayakan. Allah Swt berfirman dalam surah Al-Anfal ayat 27:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَخُونُوا اللَّهَ وَالرَّسُولَ وَتَخُونُوا أَمَانَاتِكُمْ وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul (Muhammad) dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercayakan kepadamu, sedang kamu mengetahui.” (Qs. Al-Anfal 27).
Kedudukan dan kekuasaan dalam Islam bukanlah tujuan akhir terlebih untuk diminta, melainkan sarana untuk melayani umat atau masyarakat. Jika jabatan itu diminta atau bahkan berambisi untuk mendapatkannya, sungguh hal tersebut telah diajarkan Rasulullah Saw kepada sahabatnya.
Rasulullah Saw bersabda:
يَا عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَ سَمُرَةَ، لَا تَسْأَلِ الْإِمَارَةَ فَإِنَّكَ إنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ مَسْأَلَةٍ وُكِلْتَ إِلَيْهَا وَإِنْ أُعْطِيتَهَا عَنْ غَيْرِ مَسْأَلَةٍ أُعِنْتَ عَلَيْهَا
Artinya:
“Wahai Abdurrahman, janganlah kamu meminta kepemimpinan. Karena jika engkau diberinya karena engkau mencarinya engkau akan dibiarkan mengurusi sendiri (tidak dibantu Allah). Tetapi jika engkau diberinya tanpa mencarinya maka engkau akan dibantu (Allah) dalam mengurusinya.” (HR. Bukhari).
Dari sahabat Abu Musa Al-Asy’ari, bahwa ada dua orang datang kepada Rasulullah Saw dan meminta jabatan. Lalu Rasulullah Saw menjawab:
إِنَّا لَا نُوَلِّي أَمْرَنَا هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرِصَ عَلَيْهِ
Artinya: “Sesungguhnya kami tidak akan memberikan kepemimpinan kami ini kepada seseorang yang memintanya atau berambisi terhadapnya.” (HR. Bukhari)
Hadits di atas menjelaskan bahwasnya kepemimpinan, kedudukan atau jabatan jangan diminta, jika memintanya sungguh Allah Swt tidak rela, bahkan hambanya tidak akan dibantu. Tapi kepemimpinan adalah amanah yang memiliki tanggung jawab. Oleh karena itu, pemimpin harus memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti kejujuran, integritas, amanah, dan tawakkal kepada Allah.
Terlebih lagi tahun politik, orang-orang sibuk berusaha mendapatkan simpatik agar menjadi pemimpin. Namun sungguh Islam telah mengajarkan kepada umatnya bahwasanya kedudukan dan kepemimpinan tidak hanya soal politik. Akan tetapi pemimpin dalam berbagai bidang, seperti di ruang komunitas, organisasi, kemasyarakatan maupun di keluarga.
Hal yang paling hakikat yakni tentang makna dari kepempinan itu sendiri, menurut Islam pemimpin diharapkan dapat menjalankan tugas dengan baik, bertanggung jawab dan berusaha memberikan pelayanan yang baik.