إِنَّا لَا نُوَلِّي أَمْرَنَا هَذَا مَنْ سَأَلَهُ وَلَا مَنْ حَرِصَ عَلَيْهِ
Artinya: “Sesungguhnya kami tidak akan memberikan kepemimpinan kami ini kepada seseorang yang memintanya atau berambisi terhadapnya.” (HR. Bukhari)
Hadits di atas menjelaskan bahwasnya kepemimpinan, kedudukan atau jabatan jangan diminta, jika memintanya sungguh Allah Swt tidak rela, bahkan hambanya tidak akan dibantu. Tapi kepemimpinan adalah amanah yang memiliki tanggung jawab. Oleh karena itu, pemimpin harus memiliki sifat-sifat yang sesuai dengan ajaran Islam, seperti kejujuran, integritas, amanah, dan tawakkal kepada Allah.
Terlebih lagi tahun politik, orang-orang sibuk berusaha mendapatkan simpatik agar menjadi pemimpin. Namun sungguh Islam telah mengajarkan kepada umatnya bahwasanya kedudukan dan kepemimpinan tidak hanya soal politik. Akan tetapi pemimpin dalam berbagai bidang, seperti di ruang komunitas, organisasi, kemasyarakatan maupun di keluarga.
Hal yang paling hakikat yakni tentang makna dari kepempinan itu sendiri, menurut Islam pemimpin diharapkan dapat menjalankan tugas dengan baik, bertanggung jawab dan berusaha memberikan pelayanan yang baik.
Namun, realitas menunjukkan bahwa seringkali orang yang memiliki kekuasaan dan posisi tergoda untuk menyalahgunakan kekuasaan tersebut. Sebab mereka merasa lebih kuat dan lebih unggul daripada orang lain. Ini dapat mengakibatkan penyalahgunaan kekuasaan, korupsi, dan tindakan yang tidak bermoral, yang semuanya bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam.
Agama Islam berpesan untuk tidak korupsi atau memakan harta yang bukan miliknya. Allah Swt berfirman dalam surah An-Niasa ayat 29:
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ لَا تَأْكُلُوٓا۟ أَمْوَٰلَكُم بَيْنَكُم بِٱلْبَٰطِلِ إِلَّآ أَن تَكُونَ تِجَٰرَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ ۚ وَلَا تَقْتُلُوٓا۟ أَنفُسَكُمْ ۚ إِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِكُمْ رَحِيمًا
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. Dan janganlah kamu membunuh dirimu; sesungguhnya Allah adalah Maha Penyayang kepadamu.” (QS. An-Nisa: 29)
Agama Islam memberikan garis sesunguhnya kedudukan dan kekuasaan sebagai sarana untuk melayani umat manusia dan mendekatkan diri kepada Allah Swt. Namun, ketika kekuasaan dan posisi disalahgunakan, hal ini dapat menyebabkan bahaya bagi diri sendiri dan tentunya amanah kepimpinan.
Memang bahwasanya tidak mungkin bagi manusia tidak senang dengan kepimpinan, kedudukan, kekuasaan maupun jabatan sebab manusia memiliki harapan-harapan dan keinginan. Demikianlah bahaya cinta kedudukan dan meminta kepemimpinan. Semoga bermanfaat.