Scroll untuk baca artikel
Kolom

Bang Bursah yang Membawa Saya Masuk HMI

Redaksi
×

Bang Bursah yang Membawa Saya Masuk HMI

Sebarkan artikel ini
bang bursah

Di HMI Cabang Jakarta saya didaulat menjadi Ketua Umum Lembaga Pers Mahasiswa Islam (LAPMI) yang SK-nya disampaikan oleh Fajar.

Di sana saya menerbitkan buletin Cilosari 17. Meskipun hanya terbit satu edisi namun membuat heboh di lingkungan para senior setelah saya menulis artikel tentang Oey Tjoe Tat yang dianggap sebagai musuh besar HMI. Tagihan listrik dan PAM kabarnya sempat tidak dibayar oleh para senior gara-gara artikel itu.

Dalam pengabdian yang singkat di HMI banyak cerita yang masih saya kenang. Antara lain bersama Andrianto, satu di antara 21 aktivis FAMI yang dipenjarakan oleh Soeharto saya kerap mengisi materi pelatihan manajemen aksi di lingkungan HMI.

Sekali mengisi pelatihan di Purwarkarta, Jawa Barat dan empat kali pula memberikan pelatihan di HMI Cabang Metro Lampung, yang dipimpin oleh Alm. Iwan Ridwan.

Satu di antara pelatihan saya mengajak Ferry Juliantono dan Standarkia Latief, dua senior gerakan, yang disambut hangat peserta bahkan saat kami pulang diiringi lagu kulepas dikau pahlawan. Meskipun terkesan berlebihan tapi sangat mengharukan.

Dalam setiap kegiatan yang saya lakukan antara tahun 1994-1995, seperti biasa, Bang Bursah yang keuangannya masih cekak memberikan lis nama-nama yang sekiranya dapat membantu.

Terakhir kali saat melakukan advokasi pertanahan di Sumatera Selatan sejak Oktober 1994 hingga Agustus 1995, saya dibekali oleh Bang Bursah list nomer telepon alumnus HMI di Kota Palembang yang antara lain berprofesi pejabat BUMN, pejabat pemerintahan, pimpinan ICMI, notaris dan pengusaha.

Suatu saat berbekal list dari Bang Bursah saya dengan ditemani Ian Iskandar, mahasiswa Fakultas Hukum UNSRI, mendatangi suatu ruangan di kantor PLN di Jl. Kapten Rivai. Baru langsung dibentak.

“Tahu idak, abang kau ini orangnya pemerintah. Kenapa pula kau nak demon pergi ke sini?” ucapnya dengan nada meninggi.

Tapi pulangnya diam-diam memberikan amplop putih. Isinya lumayan untuk ukuran uang 30 tahun yang lalu, Rp 400 ribu.

Selain dari pejabat PLN bantuan juga datang dari Kepala Dinas Perkebunan Muba yang tinggal di kota Palembang. Jumlahnya Rp 750 ribu yang diberikan setelah sholat Maghrib di Pempek Pak Raden di penghabisan Jl. Jenderal Sudirman sebelum simpang Polda.

Bantuan juga datang dari penggiat ICMI yang digalang, kalau tidak salah namanya Bang Umar Husein, sehingga saya berkenalan dengan bos Elpiji di Simpang Polda yang namanya Bang Syarifudin Basnan yang pernah aktif di Komisariat HMI IAIN Sunan Kalijaga, Yogyakarta.

Puncak dari aktivitas saya (yang diajak Wahisun Wais) melakukan advokasi di 23 wilayah konflik pertanahan di Sumatera Selatan adalah aksi jalan kaki dari gedung DPRD Provinsi Sumsel ke kantor Gubernur pada 31 Juli 1995.