Scroll untuk baca artikel
Blog

Bangku Panjang di Cikini – Cerpen Yayat R Cipasang

Redaksi
×

Bangku Panjang di Cikini – Cerpen Yayat R Cipasang

Sebarkan artikel ini

Pertemuan pertama sampai ke sepuluh di tempat yang sama kita hanya berdiskusi tentang buku, novel dan sastra.

Ketika lelah berdebat dan bercerita tentang buku, kita selalu punya inisiatif untuk mencairkannya. Sebuah kafe kecil tak jauh dari bangku panjang itu menjadi tempat diskusi selanjutnya sambil menyesap kopi atau memesan penganan roti bakar atau kentang goreng.

Diskusi baru berakhir ketika jam sudah menunjuk angka 13.20. Sepuluh menit sebelum sekolah bubar. Jamnya selalu tepat. Tidak lebih dan kurang. Klub buku bubar kendati diskusi sedang dalam puncaknya. Tidak ada urusan.

“Kita lanjutkan lagi. Kamis depan. Kita cukup bertemu seminggu sekali,” katanya pada pertemuan yang ke sepuluh.

Aku mengangguk sambil menyorongkan kunci mobil yang tergelatak di meja.

“Terimakasih.”

“Sama-sama. Terimakasih traktirannya ya.”

Lina hanya tersenyum dan kemudian berbalik.

Ini hari Kamis, aku masih duduk di tempat yang sama. Aku selalu siap untuk diskusi tentang novel baru.

Namun, sudah 52 Kamis, Lina tak pernah muncul lagi. Tidak ada pemberitahuan. Tidak ada kabar karena kita pun tak pernah saling bertukar nomor kontak dan alamat.

Itu semacam kesepakatan dan tata tertib yang tak pernah diucapkan. Tapi dipatuhi bersama.

Lina hanya bercerita sebatas koleksi bukunya yang sudah ratusan judul. Semuanya ditata dengan rapih di sebuah lemari. Hobi bacanya sudah menular kepada putrinya.

“Aku seneng banget, anakku mulai banyak baca buku,” katanya.

Oh, ya?” kataku singkat.

“Ya.” Lina senang.

Rupanya kabar baik itu adalah pertemuan terakhir dengan Lina. Setelah itu tak pernah bertemu lagi.

Setiap hari Kamis, aku selalu duduk dan membaca buku di kursi ini. Aku kadang melempar pujian, kritik dan umpatan.

“Penulis dungu!” umpatku hampir saja merobek halam 125 sebuah novel terjemahan yang dibeli di toko buku Jepang. “Satu alinea hampir satu halaman. Capek bacanya.”

“Memang bukan substansi sih, tapi pikirkan juga psikologis dan kenyaman membaca dong,” kataku seolah meminta persetujuan seseorang di hadapanku.

Beberapa pejalan kaki tersenyum dan pernah suatu kali ada seorang pria paruh baya tak berucap tapi seolah membuat garis miring dengan telunjuk di jidatnya.

Masak sih aku gila, batinku. “Emang orang gila baca buku?”

Cikini, 26 Februari 2023