Penulis: Dimas Suryo Pamujo S.E.
Peneliti INSPECT (Institute of Public Policy and Economic Studies)
PEMULIHAN ekonomi merupakan tantangan bagi pemerintah dan masyarakat mengingat dampak destruktif dari pandemi Covid-19 selama 3 tahun terakhir. Indonesia termasuk salah satu negara yang mendapatkan pukulan ekonomi yang begitu dalam akibat pandemi. Sebagai pembanding, krisis moneter di tahun 1998 memang memukul perekonomian Indonesia tetapi yang terdampak hanya sebagian di sektor formal dalam perekonomian. Sedangkan, sektor informal seperti Usaha Mikro Kecil Menengah (UMKM) tetap hidup dengan hampir tanpa dampak sama sekali, bahkan menjadi motor tambahan dalam menyerap tenaga kerja serta memulihkan perekonomian pasca krisis. Setelah krisis moneter, peran sektor informal masih mendominasi perekonomian Indonesia hingga kini.
Pada awal pandemi Covid-19, pertumbuhan ekonomi Indonesia untuk pertama kalinya mencapai titik negatif yaitu tumbuh -5.32% (y-on-y) pada triwulan II-2020. Hal ini berlangsung saat dilakukannya pembatasan sosial ketat untuk pencegahan Covid-19 seperti PSBB dan PPKM. Kondisi ini menyebabkan sektor formal maupun informal menerima pil pahit berupa gerak ekonomi yang terbatas. Hal ini dibuktikan dengan pertumbuhan konsumsi rumah tangga dan pembentukan modal tetap bruto pada triwulan II-2020 masing masing sebesar tumbuh -5.52% dan -8.62%. Namun masa-masa itu telah berlalu dan pekerjaan rumah terbesar setiap negara dan penduduk di seluruh dunia adalah satu, pemulihan ekonomi.
Saat ini, Indonesia mencatatkan angka-angka yang relatif baik dalam beberapa indikator perekonomian. Pertumbuhan ekonomi Indonesia triwulan I-2022 sudah tumbuh 5.01% meskipun terjadi gelombang Covid-19 varian Omicron di bulan Februari-Maret 2022. Jauh lebih baik dibandingkan pertumbuhan ekonomi saat triwulan III-2021 sebesar 3,51% dimana pada bulan Juli 2021 dalam kondisi gelombang Covid-19 varian Delta (BPS, 2022). Selain itu, daya beli masyarakat untuk konsumsi dan produksi sudah meningkat di tingkat yang mendekati nilai sebelum pandemi.
Dari segi konsumsi, Konsumsi rumah tangga Indonesia triwulan I-2022 sudah lebih baik dengan tumbuh sebesar 4,34% (BPS, 2022). Apabila ditinjau per-sektor, konsumsi barang-barang sekunder sudah mengalami peningkatan seperti konsumsi pakaian dan alas kaki pada triwulan I-2022 tumbuh 6,46%. Kemudian, konsumsi restoran dan hotel pada triwulan I-2022 sudah mencapai 4,20%.
Di sisi lain yaitu produksi, Investasi langsung per triwulan I-2022 sudah tumbuh sebesar 4,09% (BPS, 2022). Sumbangan pertumbuhan terbesar disokong oleh pembelian mesin dan peralatan usaha triwulan I-2022 sebesar 19,17% dimana sudah melampaui nilai pra-pandemi dan pernah di titik terendah sebesar -26.09% saat triwulan II-2020 (BPS, 2022).
Indikator-indikator ekonomi diatas merupakan sinyal yang sangat baik karena saat daya beli masyarakat terhadap barang-barang bukan kebutuhan primer meningkat maka dapat diasumsikan kebutuhan primer tercukupi dan terdapat sisa alokasi pendapatan masyarakat untuk membeli kebutuhan sekunder. Begitu pula, dari segi produksi yang menunjukkan angka positif yang mengindikasikan berjalannya kembali roda ekonomi. Hal tersebut diperkuat dengan turunnya nilai deposito dan naiknya nilai pinjaman di bank sehingga uang yang beredar lebih banyak karena masyarakat cenderung lebih berminat membelanjakan uangnya alih-alih menyimpannya di bank.
Berbagai pencapaian tersebut bukan tanpa halangan. Setelah pandemic reda, saat ini sebanyak 50% negara di dunia mengalami inflasi yang tinggi yaitu di angka 5% sampai 7% ini merupakan fenomena internasional. Dari segi produksi berbagai negara termasuk Indonesia mengalami inflasi rata-rata sebesar 10% (CEIC, 2022).
Dari segi konsumsi, Indonesia masih belum mencapai tingkat inflasi yang tinggi berbeda dengan negara-negara lain seperti Amerika Serikat yang sudah memasuki tingkat inflasi di sektor konsumsi yang tinggi. Merespon hal tersebut, Federal Reserve meningkatkan suku bunga bahkan masih akan meningkatkannya 2 sampai 3 kali lagi. Kebijakan ini tentu akan berdampak pada meningkatnya nilai tukar dollar dan perekonomian nasional karena otomatis akan meningkatkan beban impor yang ditanggung negara.
Pada sektor energi saja pemerintah sudah harus menanggung subsidi bahan bakar minyak hampir 50%. Hal ini karena saat ini bensin jenis RON 90 (Pertalite) seharusnya sudah pada harga Rp. 13.600 per liter namun sekarang harga jual masih di angka Rp. 7.650 (CEIC, 2022). Apalagi ditambah komoditas-komoditas lain yang akan mengalami peningkatan harga karena menguatnya nilai tukar dollar.
Selain itu, Tiongkok sebagai negara dengan ikatan ekonomi yang erat dengan Indonesia mengalami “slowdown” pada perekonomiannya. Indikasinya adalah penurunan industri manufaktur dan non-manufaktur selama dua tahun ini dan turunnya nilai GDP Tiongkok menjadi 4,8%. Turunnya perekonomian Tiongkok berpotensi akan mempengaruhi perekonomian Indonesia karena komposisi ekspor, impor dan Foreign Direct Investment terbesar negara ini adalah kepada negara Tiongkok yaitu sebesar 22,9% pada tingkat ekspor, 28,4% pada tingkat impor dan 10,1% tingkat FDI. Dalam kondisi inilah muncul hantu yang perlu diwaspadai, stagflasi.
Meningkatnya nilai tukar dollar, inflasi tinggi yang dialami 50% negara di dunia, dan inflasi pada sektor produksi di Indonesia merupakan indikator yang berpotensi mengundang bayang gelap yang disebut stagflasi. Tinggal menunggu waktu tidak kuatnya sektor produksi untuk terus menahan laju inflasi mengakibatkan terjadinya inflasi di sektor konsumsi dan kembali menurunnya daya beli. Stagflasi adalah fenomena dimana tingginya tingkat inflasi tidak diiringi dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Sederhananya, saat inflasi begitu tinggi tetapi pertumbuhan ekonomi stagnan. Istilah Stagflasi berawal dari politisi Inggris yaitu Iain MacLeod dari Partai Konservatif yang mengutarakan kekhawatirannya pada kondisi Inggris waktu itu yang mengalami inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan di tahun 1965. Istilah stagflasi kembali digunakan saat resesi terjadi bersamaan dengan krisis bahan bakar di Amerika tahun 1970.
Proyeksi inflasi dari Bank Indonesia adalah 2 sampai 4% dengan pertumbuhan di akhir tahun ditarget 4,7% sampai 5,5% Namun jika inflasi tidak dikendalikan dan jauh melampaui target, maka upaya peningkatan daya beli masyarakat pasca pandemi akan menjadi sia-sia dan target pertumbuhan akan terkoreksi. Hal ini karena pertumbuhan nominal tidak mewakili produktivitas masyarakat. Dengan melihat kondisi domestik dan global, menurut perkiraan IMF kemungkinan inflasi bakal menyentuh 8,7%, pemerintah harus berfokus pada upaya pengendalian inflasi dengan menggabungkan sinergi antara kebijakan moneter yang juga dibarengi penataan arus tara kelola dan suplai barang-barang, terutama kebutuhan pokok.
Penanganan stagflasi memang dilematis, Bank Indonesia bisa menaikkan suku bunga untuk menahan laju inflasi. Namun, hal itu juga bisa merugikan kegiatan ekonomi secara keseluruhan, karena akan menghentikan laju pertumbuhan pinjaman dan investasi. Kebijakan stimulus yang memacu lebih banyak pertumbuhan ekonomi atau mempertahankan suku bunga rendah justru akan berpotensi semakin meningkatkan inflasi. Sudah seperti menangani hantu bukan? Kuncinya adalah adanya sinergi yang pas antara kebijakan moneter dan kebijakan fiskal dari para pemangku kebijakan.
Seperti selayaknya hantu maka kondisi stagflasi masih pada titik berpotensi terjadi di Indonesia dan negara lain di dunia. Masih terjadi perdebatan, apakah fenomena inflasi tinggi yang terjadi di berbagai negara di dunia berkaitan dengan fenomena stagflasi atau tidak sama sekali. Namun, sudah selayaknya Indonesia mewaspadai hantu yang menjadi bayang gelap upaya pemulihan ekonomi ini. “Monster are real, ghost are real too. They live inside us, and sometimes, they win.” -Stephen King, The Shining. [rif]