Indikator-indikator ekonomi diatas merupakan sinyal yang sangat baik karena saat daya beli masyarakat terhadap barang-barang bukan kebutuhan primer meningkat maka dapat diasumsikan kebutuhan primer tercukupi dan terdapat sisa alokasi pendapatan masyarakat untuk membeli kebutuhan sekunder. Begitu pula, dari segi produksi yang menunjukkan angka positif yang mengindikasikan berjalannya kembali roda ekonomi. Hal tersebut diperkuat dengan turunnya nilai deposito dan naiknya nilai pinjaman di bank sehingga uang yang beredar lebih banyak karena masyarakat cenderung lebih berminat membelanjakan uangnya alih-alih menyimpannya di bank.
Berbagai pencapaian tersebut bukan tanpa halangan. Setelah pandemic reda, saat ini sebanyak 50% negara di dunia mengalami inflasi yang tinggi yaitu di angka 5% sampai 7% ini merupakan fenomena internasional. Dari segi produksi berbagai negara termasuk Indonesia mengalami inflasi rata-rata sebesar 10% (CEIC, 2022).
Dari segi konsumsi, Indonesia masih belum mencapai tingkat inflasi yang tinggi berbeda dengan negara-negara lain seperti Amerika Serikat yang sudah memasuki tingkat inflasi di sektor konsumsi yang tinggi. Merespon hal tersebut, Federal Reserve meningkatkan suku bunga bahkan masih akan meningkatkannya 2 sampai 3 kali lagi. Kebijakan ini tentu akan berdampak pada meningkatnya nilai tukar dollar dan perekonomian nasional karena otomatis akan meningkatkan beban impor yang ditanggung negara.
Pada sektor energi saja pemerintah sudah harus menanggung subsidi bahan bakar minyak hampir 50%. Hal ini karena saat ini bensin jenis RON 90 (Pertalite) seharusnya sudah pada harga Rp. 13.600 per liter namun sekarang harga jual masih di angka Rp. 7.650 (CEIC, 2022). Apalagi ditambah komoditas-komoditas lain yang akan mengalami peningkatan harga karena menguatnya nilai tukar dollar.
Selain itu, Tiongkok sebagai negara dengan ikatan ekonomi yang erat dengan Indonesia mengalami “slowdown” pada perekonomiannya. Indikasinya adalah penurunan industri manufaktur dan non-manufaktur selama dua tahun ini dan turunnya nilai GDP Tiongkok menjadi 4,8%. Turunnya perekonomian Tiongkok berpotensi akan mempengaruhi perekonomian Indonesia karena komposisi ekspor, impor dan Foreign Direct Investment terbesar negara ini adalah kepada negara Tiongkok yaitu sebesar 22,9% pada tingkat ekspor, 28,4% pada tingkat impor dan 10,1% tingkat FDI. Dalam kondisi inilah muncul hantu yang perlu diwaspadai, stagflasi.
Meningkatnya nilai tukar dollar, inflasi tinggi yang dialami 50% negara di dunia, dan inflasi pada sektor produksi di Indonesia merupakan indikator yang berpotensi mengundang bayang gelap yang disebut stagflasi. Tinggal menunggu waktu tidak kuatnya sektor produksi untuk terus menahan laju inflasi mengakibatkan terjadinya inflasi di sektor konsumsi dan kembali menurunnya daya beli. Stagflasi adalah fenomena dimana tingginya tingkat inflasi tidak diiringi dengan meningkatnya pertumbuhan ekonomi. Sederhananya, saat inflasi begitu tinggi tetapi pertumbuhan ekonomi stagnan. Istilah Stagflasi berawal dari politisi Inggris yaitu Iain MacLeod dari Partai Konservatif yang mengutarakan kekhawatirannya pada kondisi Inggris waktu itu yang mengalami inflasi dan pertumbuhan ekonomi yang stagnan di tahun 1965. Istilah stagflasi kembali digunakan saat resesi terjadi bersamaan dengan krisis bahan bakar di Amerika tahun 1970.