BARISAN.CO – Rakai, anak saya yang kedua, tidak sekolah. Ia menjalani homeschooling. Dan, ia tampak menikmati. Apalagi saat ini, saat pandemi mendera dunia, di mana sekolah-sekolah tidak berjalan sewajarnya, proses belajar anak praktis di rumah. Maka, bungsu saya itu pun memandang, toh akhirnya kini semua anak kembali ke keluarga, kembali di rumah.
Malah, ia merasa spesial. Sebab sedari dini di rumah, dan memang sebelum pandemi ia sama sekali tidak bersekolah. Kesehariannya di rumah ia lakoni sebagai belajar. Berbeda dengan rekan sebayanya, lantaran tidak hadir di sekolah, di rumah tidak dihayati sebagai belajar.
Itulah salah kaprah pendidikan di masyarakat kita. Bahwa pemilik sah pendidikan adalah sekolah. Sehingga, yang tidak sekolah dicap tidak berpendidikan. Tidak sekolah berarti bodoh, berarti terbelakang. Walau negara mengakui homeschooling sebagai alternatif pendidikan, tetap saja, praktisi homeschooling berasa terasing.
Sekolah benar-benar berhasil menyusupkan kesadaran, belajar itu bersekolah. Bahkan sekolah sukses mendiskriminasi pembelajar berdasar usia, sehingga belajar sepanjang hidup hanya berlaku dalam slogan. Sekolah berhasil memojokkan orang-orang yang tak berijazah di sudut ruang gelap sejarah. Mereka berkasta rendah, terbelakang, dan tak layak memiliki peran di tangga sosial.
Sehingga, tak aneh fenomena jual-beli ijazah terus mengemuka untuk menapak tangga jabatan. Apalagi jelang pemilu legislatif. Sungguh memuakkan mengingat hal itu. Tapi, mau bagaimana lagi, toh negara juga diam-diam “mengesahkan”.
Tak syak lagi, menjalani homeschooling akan dianggap aneh. Banyak orang tua ragu untuk memulainya. Oh iya, sebagai catatan, homeschooling di sini saya maksudkan sebagai pendidikan berbasis keluarga, bukan lembaga. Banyak yang salah sangka, homeschooling sama dengan bimbingan belajar. Homeschooling disamakan dengan sekolah-sekolah alternatif yang kini marak, seperti sekolah alam misalnya.
Bagi saya homeschooling adalah pilihan belajar yang menempatkan orang tua sebagai pendidik utama. Memang, terkadang orang tua-orang tua kewalahan atau tidak mampu di mata pelajaran tertentu, maka mereka mengundang guru privat, atau mengirim ke guru les. Tapi, manager tetap ada di orang tua.
Nah, banyak orang tua mendadak minder, tidak percaya diri, untuk menjalani homeschooling. Padahal sederhana saja. Pertama, orang tua mesti membongkar sekolah. Orang tua harus berani bebas dari sekolah. Dan, buku Deschooling Society karya Ivan Illich bisa jadi acuan untuk menelisik hakikat sekolah.
Illich, dalam bukunya, langsung menggedor nurani kita, bahwa di mana pun juga, tidak hanya pendidikan tetapi masyarakat sebagai keseluruhan membutuhkan dihapuskannya sistem sekolah. Ia menegaskan bahwa masyarakat kita dibikin tidak berdaya oleh sekolah, menyerah kepada keputusan wajib belajar 12 tahun. Padahal jelas, kekurangan pendidikan tidak bisa diatasi hanya dengan mengandalkan sistem pendidikan di sekolah.
Kedua, sekolah telah memanipulasi kita sebagai satu-satunya lembaga yang menyelenggarakan bidang pendidikan. Sehingga, kesulitan di bidang pendidikan akan dianggap wajar, jika akhirnya sekolah menyedot anggaran dana besar dari kas negara. Masyarakat pun memaklumi, untuk meraih keterampilan memadai mesti keluar banyak biaya.
Akhirnya, yang ketiga, tanpa kita sadari sekolah telah menjadi agama dunia yang memberikan janji-janji hampa akan keselamatan dunia. Padahal, kalau kita objektif, justru kebanyakan orang belajar lebih banyak di luar sekolah. Kebanyakan orang suka banyak membaca, tidak diperoleh di sekolah.