Tapi Abdee bukan hadir tanpa pembelaan. Triawan Munaf dan Peter F. Gontha membelanya meski suara mereka berdua tenggelam dalam riuh, bahkan cenderungnya tak diacuhkan. Kenapa? Keduanya Komisaris PT Garuda. Orang menafsirkan dukungan mereka sebagai solidaritas sesama komisaris.
Menjadi komisaris Telkom dengan gaji Rp11,31 miliar per tahun tidak mudah. Dengan angka sebesar itu, tentu dapat dimengerti mengapa publik menginginkan komisaris diisi oleh teknokrat.
Teknokrat adalah mereka yang ready now, siap begitu diterjunkan. Ciri-cirinya: punya pengalaman, sesuai antara keahlian dengan bidang keilmuan, sehingga terbukti dan legitimatif.
Sementara Abdee adalah ready next, siap tapi butuh waktu. Ciri-cirinya: belum berpengalaman, basis akademiknya tidak mantap, masih perlu membuktikan diri di soal manajemen perusahaan. Beban pembuktian Abdee bertambah berat lantaran ia melangkahi sekian kepala orang yang, sejak dulu, mengenyam pendidikan supaya pantas menempati kursi yang ia duduki.
Tapi bagaimanapun nasi sudah menjadi komisaris. Bubur adalah pilihan para pemegang saham Telkom. Tentu saja kita perlu berbaik sangka, mereka yang memilih Abdee paham pilihannya tidak disertai kemungkinan tunggal bahwa Abdee pasti berhasil, tanpa memperhitungkan bahwa Abdee mungkin saja gagal, atau setidak-tidaknya kurang memenuhi standar dan harapan.
“Beri Abdee sedikit waktu,” kata para pemegang saham Telkom.
Baiklah. Barangkali kitalah yang kelampau tergesa. Kita inginnya Telkom segera beres. Kita ingin legalitas komisaris sebaiknya disesuaikan dengan pembenaran teknokratis. Kita ingin norma bisnis perusahaan pelat merah mengakomodasi aspirasi kita.
Mungkin seruan para pemegang saham Telkom itu ada benarnya. Kita perlu memberi Abdee waktu. Kita perlu mencoba ‘tuk mengenal Abdee, tulus, dan apa adanya. []