Scroll untuk baca artikel
Opini

Silaturahmi Nusantara Bersatu, Sampah dan Piala Dunia 2022

Redaksi
×

Silaturahmi Nusantara Bersatu, Sampah dan Piala Dunia 2022

Sebarkan artikel ini

CONTOH baik yang dipertontonkan suporter kesebelasan Jepang usai laga kontra Jerman yang dimenanginya 2-1 dalam ajang Piala Dunia 2022 ternyata cuma viral di media massa dan media sosial dalam negeri tetapi tidak dikonversi ke dalam perilaku.

Pendukung Timnas Jepang yang sampai rela menunda pesta kemenangan karena mengumpulkan sampah di tribun, baru sampai tarap dikagumi belum sampai pada tataran praksis di kalangan masyarakat Indonesia. Salah satu contohnya dalam ajang silaturahmi Nusantara Bersatu di Stadion Gelora Bung Karno (GBK), Sabtu (26/11/2022).

Sebagaimana diberitakan sejumlah media arus utama beberapa jam kemudian seperti nyaris dikomando langsung menulis berita tidak sedap mengenai kumuhnya stadion dengan sampah.

Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta yang mengerahkan 500 personel melaporkan sampah yang dikumpulkan mencapai 31 ton.

CNN Indonesia menulis dalam bagian beritanya, “Penampakan lautan sampah di GBK tersebut menjadi sorotan publik dan berujung viral di media sosial.”

Kompas.com.menulis judul dengan satire yang menohok, “Cuma Sehari di GBK, Relawan Jokowi Produksi Sampah hingga 31 Ton”.

Kemudian Warta Ekonomi menulis dengan nada sindiran dan membandingkan dengan acara lain. “Relawan Jokowi Sisakan Tumpukan Sampah 31 Ton di GBK, Warganet Bandingkan Peserta 212 dan Suporter Jepang.”

Jurnalis dan juga netizen sangat gusar sekaligus jengkel dengan kekumuhan GBK akibat sampah. Apalagi GBK sudah dinyatakan Menpora Zainudin Amali tidak boleh digunakan untuk acara apapun karena akan digunakan untuk ajang level dunia U-20 pada 2023. Karena itu konser Raisa dan BlackPink pun terancam batal.

Kalangan milenial dan generasi Z termasuk yang paling marah. Karena kesadaran mereka tentang kelestarian iklim dan lingkungan menjadi prioritas. Mereka juga sangat kritis dan akan meninggalkan produk yang merusak lingkungan atau korporasi yang pura-pura berpihak pada kelestarian alam (greenwashing). Mereka bisa menghukum sebuah produk dengan cara tidak membelinya.

Kalangan milenial juga sangat meyakini bahwa sebuah negara dikatakan beradab salah satunya ditunjukkan dalam cara memandang dan memperlakukan sampah. Mereka dengan mudah mengakses informasi cara negara-negara Eropa dan juga negara Asia seperti Jepang atau Singapura dalam mengurangi dan mengelola sampah.

Karena itu lautan sampah dalam acara yang dihadiri Presiden Jokowi menjadi bahan olok-olok netizen. Tidak salah mereka tak sekadar membandingkan dengan perilaku baik suporter Tim Jepang tetapi juga dengan ‘yurisprudensi’ perbuatan baik lainnya yang bersifat lokal.

Misalnya saja kegiatan 212 yang sangat fenomenal pada zamannya dengan melibatkan jutaan orang di sekitar Monas yang bersih dari sampah dan rumput serta taman pun tidak rusak.

Juga segala macam kegiatan yang melibatkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) — baik pawai atau pertemuan akbar — selalu bersih dari sampah. Mereka selain sadar dengan membawa kantong sampah sendiri tetapi ada juga ada tim relawan yang khusus mengumpulkan sampah.

Pun, acara pembukaan Muktamar Muhammadiyah di Stadion Manahan Solo. Juga bersih dari sampah padahal dihadiri ribuan orang juga dari berbagai utusan daerah.

Artinya, Indonesia sendiri sebenarnya sudah memiliki bancmark dalam soal cara memperlakukan sampah sehingga tidak membuat stadion atau lapangan kotor.

Contohlah sikap dan perilaku baik yang dilakukan kelompok atau komunitas lain di dalam negeri tidak harus meniru suporter Jepang. [rif]