Scroll untuk baca artikel
Fokus

Riuh Rendah Pergerakan Relawan Turun Tangan

Redaksi
×

Riuh Rendah Pergerakan Relawan Turun Tangan

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Ada banyak hal terjadi pada tahun 2013. Nelson Mandela meninggal; Paul Walker meninggal; Bandara Polonia Medan resmi ditutup; ada pula sekelompok anak muda di Jakarta, dengan bekal semangat, mendirikan wadah inkubasi kerelawanan yang diberi nama Gerakan Turun Tangan.

Turun Tangan: Nama organisasi ini secara intrinsik mencerminkan wataknya. Pada faktanya, memang banyak mereka yang tergabung di sini, selain muda dan matang secara emosi, juga adalah pribadi prososial yang akrab dengan situasi tolong-menolong.

Bermula dari Jakarta menyebar ke berbagai kota/kabupaten di Indonesia. Turun Tangan dengan cepat menasional. Barangkali salah satu yang jadi magnet bagi anak-anak muda untuk terlibat gerakan ini adalah latar belakangnya: didirikan dengan membawa nilai altruistis, pada tahun-tahun politik, oleh nama-nama tenar seperti Muhammad Chozin Amirullah dan Anies Baswedan.

Berikut adalah petikan berita Kompas, 26 Desember 2013:

Relawan Turun Tangan adalah sebutan bagi para pendukung peserta Konvensi Calon Presiden Partai Demokrat, Anies Baswedan. Mereka sebagian besar berasal dari kalangan anak muda yang tersebar di seluruh Indonesia. Relawan Turun Tangan adalah kumpulan orang mau ikut berkontribusi dalam menyelesaikan masalah. “Saya tidak mau menjadi pemimpin yang hadir menyelesaikan masalah. Tapi saya mau ajak semuanya untuk turun tangan,” kata Anies.

Dari sini dapat diambil satu postulasi yang cukup clear dan terang: Anies adalah dasar Turun Tangan didirikan.

Pertanyaannya, seberapa kuat itu menjadi alasan anak-anak muda berbondong gabung ke gerakan kerelawanan yang memasuki umurnya ke-8 ini? Jawabannya bisa sangat plastis. Tetapi yang jelas, Turun Tangan tidak berbasis semata pada kharisma seorang tokoh seperti Anies.

Banyak contoh organisasi berbasis kharisma (dan bukan berbasis sistem atau nilai) yang amat bergantung pada ketokohan seseorang. Partai politik seperti Gerindra dan PDI-P, misalnya, tak pernah bisa lepas dari figur para pemimpinnya.

Secara menarik, tepat sebelum momentum Pilkada DKI 2017 di mana Anies jadi salah satu paslon, Turun Tangan justru mengumumkan di laman resminya, kepada relawannya di seluruh Indonesia, bahwa: “Turun Tangan menyatakan diri bersikap netral, tidak memihak pada salah satu paslon yang akan maju bertarung. Penyebutan Turun Tangan oleh calon kepala daerah manapun, bukan berasal dari pengelola gerakan.”

Berbasis Visi

Kalau bisa diringkas, maka sebetulnya Turun Tangan adalah percampuran dari tiga latar. Yang menjadi latar belakangnya adalah Anies Baswedan. Yang menjadi latar depannya adalah visi untuk melahirkan pemimpin-pemimpin muda berintegritas. Yang aktual dan selalu aktual adalah konten yang diusung gerakan ini, yakni memperjuangkan pendidikan, lingkungan, sosial kemanusiaan, edukasi politik, serta kesehatan.

Barangkali untuk saat-saat sekarang, faktor visi dan konten gerakan lebih menonjol dibanding latar belakangnya yang boleh dibilang sudah obsolet. Apalagi sering latar belakang tidak sepenting sebagaimana diperlakukan dalam semua hal. Latar itu bisa dibuat untuk suatu keperluan, dan selain itu yang menentukan sebuah gerakan bukanlah latar belakangnya, tetapi aktualisasi yang membentuk dan mewarnai gerakan tersebut.

Muhammad Ridho Rahman, salah satu relawan Turun Tangan, mengatakan bahwa ia bergabung karena selain sebagai wadah pembelajaran, eksperimen, dan berjejaring, ia menyebut Turun Tangan bersifat project based community sehingga tiap relawan memiliki pilihan untuk memutuskan kegiatan yang akan dilakukan.