BARISAN.CO – Pada pertengahan 1993, Jenderal Edi Sudrajat memasuki hari-hari pensiunnya sebagai Panglima ABRI. Usianya memasuki 55 tahun dan banyak orang mulai menebak-nebak siapa yang akan menggantikannya.
Ada dua nama yang sering disebut: 1) Kepala Staf Umum (Kasum ABRI) Letnan Jenderal Feisal Tanjung, usia 54 tahun; 2) Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) Letnan Jenderal Wismoyo Arismunandar, usia 53 tahun.
Nama terakhir mendapat peluang lebih besar. Selain karena usia Wismoyo lebih muda, ada tradisi bahwa Panglima ABRI selalu diisi oleh jenderal yang sebelumnya menjabat KSAD. Lebih dari itu Wismoyo adalah adik ipar Presiden Soeharto. Dan dengan profil demikian, Wismoyo dinilai lengkap.
Tanggal 21 Mei 1993, ternyata Presiden punya pertimbangan lain. Soeharto memilih Feisal Tanjung.
Dengan keputusan Presiden itu, Feisal Tanjung menjadi satu dari tiga orang yang memegang jabatan tertinggi ABRI tanpa melalui jenjang KSAD. Sebelum dirinya, ada Jenderal LB Moerdani dan Jenderal M Yusuf yang juga menjadi Panglima ABRI tanpa melalui jabatan KSAD.
Wismoyo Arismunandar Kecewa?
Lantas bagaimana Jenderal Wismoyo Arismunandar? Banyak kalangan menyebut ia kecewa dengan keputusan Presiden Soeharto mengangkat Feisal Tanjung, alih-alih dirinya sebagai Panglima ABRI.
Desas-desus menyebut, dalam menyikapi rasa kecewanya terhadap Soeharto, Wismoyo lantas mengonsolidasi kekuatan halus di tubuh Angkatan Darat. Caranya pun dilakukan dengan halus, lewat simbol: ia sebagai KSAD memerintahkan seluruh jajarannya sampai ke bawah untuk selalu memakai arloji di tangan kanan. Kebetulan, Presiden Soeharto biasa memakai arloji di tangan kiri.
Di sinilah kemudian segregasi muncul. Ada kubu militer yang memakai ‘jam tangan kiri’. Ada pula kubu Wismoyo yang memakai ‘jam tangan kanan’, yang kemudian disebut melambangkan sikap politik anti-Soeharto.
Tapi benarkah pemakaian ‘jam tangan kanan’ di kalangan militer itu simbol atas sikap politik demikian?
Sejarawan Pusjarah TNI, Dr. Kusuma Espe menyebut, memang pemakaian jam di tangan kanan cukup populer semasa Jenderal Wismoyo menjadi KSAD. “Tapi itu lebih soal kebiasaan saja, bukan sikap politik.” Katanya saat dihubungi Barisanco.
Menurut Dr. Kusuma, kebiasaan itu datang dari sifat Jenderal Wismoyo yang efisien waktu. “Jenderal Wismoyo orang yang efisien. Ia sering terlihat menelepon ataupun menerima telepon sambil melihat arloji. Jadi tangan kiri memegang telepon, tangan kanan melihat ke arloji.” Kata Dr. Kusuma.
Praktis, sebagaimana umumnya terjadi, kebiasaan pimpinan akan ditiru oleh prajurit. Proses peniruan tersebut bisa datang dari pengajaran maupun observasi. Malah, dari sumber Barisanco lain, diketahui tidak sekali dua Jenderal Wismoyo mengajarkan langsung kepada prajuritnya bahwa memakai jam tangan adalah kebiasaan baik, sekaligus menunjukkan penghargaan terhadap waktu.