Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Betonisasi Sungai 19 KM Merupakan Cara Jakarta Bunuh Diri

Redaksi
×

Betonisasi Sungai 19 KM Merupakan Cara Jakarta Bunuh Diri

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Banjir kembali melanda Jakarta dan sekitarnya beberapa hari lalu. Bahkan untuk tahun ini tak hanya Jakarta yang dilanda banjir. Awal tahun, publik sempat dikejutkan dengan banjir yang melanda Kalimantan Selatan, lalu beberapa wilayah di Jawa Tengah.

Seolah terus berulang, tenda-tenda pengungsian akan didirikan, kran sumbangan akan dibuka. Semua orang berduka, satu sama lain saling menguatkan. Komentar dan wacana bermunculan dengan nada sama tiap kali bencana. Namun sebagian besar justru tidak menyoroti penyebab utamanya. Alih-alih solusi memutus rutinitas bencana ini.

Meminjam pernyataan MH Thamrin bertahun-tahun lalu dan masih relevan, “Banjir dibicarakan hanya saat musim hujan tiba, lantas dilupakan saat air surut dan musim hujan berlalu, kemudian dibicarakan lagi saat musim hujan datang dengan terkejut karena banjirnya lebih besar lagi.”

Hal ini memang terus terulang. Apalagi di Jakarta, saat polarisasi masih terjadi, bukan solusi yang dicari, malahan mencari kesalahan pihak lain untuk dapat dihakimi. Padahal, menurut Koordinator Ciliwung Institute, Sudirman Asun, perlu data untuk membandingkan penanganan saat banjir terjadi.

“Jika membandingkan mana yang lebih baik. Harus dilihat dulu, berapa intensitas curah hujan serta waktunya. Tidak bisa hanya dibandingkan dengan mudah. Sehingga ketika berbicara harus ada datanya,” tutur Asun kepada tim Barisan.co Selasa (23/2/2021).

Asun pun menyampaikan bahwa proyek betonisasi yang dilakukan oleh pemerintah dikhawatirkan akan menjadi bencana di kemudian hari.

“Mungkin saat ini beton tersebut dapat menahan air hujan. Namun saat beton tersebut jebol akan ada tsunami kecil yang terjadi di Jakarta,” kata Asun.

Asun menegaskan, jika percepatan debit sungai curah hujan dari hulu (Bogor) dipercepat meluncur karena adanya betonisasi 19 km dari hulu Condet TB Simatupang hingga ruas pintu air Manggarai ditambah dengan kemiringan lanskap kontur selatan. Betonisasi menjadi laras senapan atau perosotan air atau juga sirkuit balapan air yang meluncur deras dengan debit kecepatan maksimum.

Asun mengingatkan kembali kejadian yang terjadi pada tahun 2013, saat tanggul kanal barat yang berlokasi di Latuharhari jebol akibat banjir dari pintu air Manggarai. Air berarus deras kala itu juga menggenangi jantung ibu kota seperti Bundaran Hotel Indonesia hingga masuk ke dalam basement Plaza UOB yang kemudian merenggut korban jiwa.

Tanggul Laturhahari sendiri telah ada sejak zaman Belanda yang dibuat khusus untuk Kawasan Menteng untuk menanggulangi banjir. Kala itu, Menteng memiliki sistem pengendalian banjir yang dapat dikatakan bagus. Namun, kini para ahli menyebut sistem tersebut dianggap tak cukup untuk mengatasi banjir.