Di tengah sorotan optimisme ekonomi, Indonesia menghadapi realita yang mengejutkan: laju pertumbuhan yang tidak hanya rendah tetapi juga berkualitas menurun
BARISAN.CO – Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Triwulan III-2024 menunjukkan angka yang melambat, dengan laju tahunan sebesar 4,95% dan pertumbuhan kumulatif sebesar 5,03%.
Angka ini menjadi yang terendah dalam beberapa tahun terakhir, selain masa pandemi COVID-19 pada 2020 dan 2021.
Rilis data dari Badan Pusat Statistik (BPS) dan Bright Institute menunjukkan tanda-tanda penurunan kualitas di beberapa sektor utama ekonomi, memperlihatkan target pertumbuhan 5,2% dari APBN 2024 sulit tercapai.
Sektor industri pengolahan, sebagai penyumbang utama terhadap Produk Domestik Bruto (PDB), tumbuh sebesar 4,72% secara tahunan (y-on-y) dan hanya 4,27% secara kumulatif (c-to-c).
Dengan prakiraan pertumbuhan sekitar 4,5% pada 2024, angka ini lebih rendah dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.
Berdasarkan analisis, industri pengolahan selama era kepemimpinan Presiden Jokowi (2015-2024) hanya tumbuh rata-rata 3,54% per tahun.
Kontribusi sektor ini dalam PDB pun menurun ke kisaran 18,75% pada tahun 2024, melanjutkan tren deindustrialisasi yang semakin menonjol.
Sektor pertanian, yang mencakup kehutanan dan perikanan, juga menunjukkan pertumbuhan tahunan yang lemah dengan angka hanya 1,68% (y-on-y) dan 0,66% secara kumulatif.
Prakiraan tahunan untuk sektor ini berada di sekitar 1,75% pada 2024, melanjutkan tren pertumbuhan rendah yang telah berlangsung sejak 2019.
“Sepanjang era pemerintahan Presiden Jokowi, pertanian tumbuh rata-rata 2,75% per tahun, jauh di bawah pertumbuhan ekonomi nasional,” terang Awalil Rizky, ekonom senior Bright Institute, Kamis (07/11/2024).
Menurut Awalik, angka ini menandakan sektor pertanian Indonesia belum mengalami perbaikan signifikan, terutama dalam menghadapi perubahan iklim, tantangan harga komoditas, dan daya saing yang lemah.
“Pertumbuhan yang rendah ini berpotensi menekan kesejahteraan petani dan menimbulkan dampak pada ketahanan pangan,” imbuhnya.
Salah satu faktor pendukung pertumbuhan ekonomi Indonesia, yakni konsumsi rumah tangga, tumbuh sebesar 4,91% pada Triwulan III-2024.
Meski masih positif, laju ini lebih rendah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelum pandemi (2011-2019), yang mencapai rata-rata 5,19% per triwulan III.
Pertumbuhan kumulatif konsumsi rumah tangga diprediksi berada di kisaran 4,9% untuk 2024, lebih rendah dari era pra-pandemi yang rata-rata mencapai 5,12% per tahun.
“Kondisi ini menunjukkan bahwa daya beli masyarakat masih terpengaruh oleh inflasi, kenaikan harga barang kebutuhan pokok, serta ketidakpastian ekonomi global,” jelasnya.
Lebih lanjut ia menyampaikan, penurunan daya beli juga berimbas pada laju investasi dalam negeri, di mana investor menjadi lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan ekonomi.
Komponen Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB) atau investasi tumbuh sebesar 5,15% pada Triwulan III-2024.
Angka ini lebih rendah dibandingkan dengan triwulan yang sama di 2023, meskipun sedikit lebih baik dibandingkan 2022.
Namun, laju ini tetap lebih rendah dibandingkan rata-rata triwulan III sebelum pandemi, yaitu 6,04%. Prakiraan tahunan untuk PMTB hanya sekitar 4,5% pada 2024, jauh di bawah rata-rata 6,02% per tahun sebelum pandemi.
Melambatnya pertumbuhan investasi menandakan bahwa sektor swasta masih cenderung berhati-hati dalam melakukan ekspansi. Faktor eksternal, seperti ketidakpastian ekonomi global, serta ketatnya kebijakan moneter di negara-negara maju, turut berkontribusi dalam menahan laju investasi di Indonesia.
“Kinerja ekonomi Indonesia pada Triwulan III-2024 menunjukkan pertumbuhan yang tidak hanya rendah tetapi juga menurun kualitasnya,” kata Awalil.