Scroll untuk baca artikel
Lingkungan

Butuh Waktu 200 Tahun untuk Diurai, Berapa Banyak Helai Baju yang Sudah Kamu Beli?

Redaksi
×

Butuh Waktu 200 Tahun untuk Diurai, Berapa Banyak Helai Baju yang Sudah Kamu Beli?

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Mungkin banyak dari kita yang tidak menyadari, sehelai baju yang kita beli membutuhkan waktu 200 tahun untuk diurai. Lebih lama dari kantong plastik yang hanya perlu 10 hingga 20 tahun untuk dapat terurai.

Fakta ini mendadak ramai diperbincangkan setelah gurun terkering di dunia berubah menjadi tempat pembuangan baju. Kini tumpukannya semakin besar dan meninggi.

Adalah Atacama Desert atau Gurun Atacama, sebuah dataran tinggi yang terletak di Amerika Selatan. Gurun seluas 600 – mil (100 km) ini disebut – sebut sebagai gurun terkering di dunia. Karena berada di antara pegunungan Cordillera de la Costa dan Pegunungan Andes, awan pembawa hujan dari lembah Amazon menjadi terhalang. Akibatnya, selama kurang lebih 150 juta tahun terakhir, Gurun Atacama  mengalami kondisi hyperarid atau kondisi kering hingga tidak ada tumbuhan yang hidup kecuali rerumputan.

Menurut laporan Vice World News, Gurun Atacama kini semakin menderita akibat polusi yang diciptakan oleh industri mode. Media yang berkantor di Kanada tersebut menggunggah foto – foto yang menunjukkan tumpukan sweater, sepatu bot dan pakaian bekas lainnya menggunung di Gurun Atacama pada Jum’at (12/11/2021) di Instagramnya.

Usut punya usut, pakaian tersebut berasal dari Cina atau Bangladesh yang tiba di Pelabuhan Iquique Chili. Setiap tahunnya, sekitar 59.000 ton pakaian tiba di pelabuhan tersebut untuk kemudian dijual kembali ke seluruh Amerika Latin. Sayangnya, hanya sebagian kecil pakaian terjual dan 39.000 tonnya berakhir di tempat pembuangan sampah di Gurun Atacama.

Kondisi tersebut tentu saja berdampak serius, sebab pakaian yang dibuat dengan bahan sintetis atau diolah dengan bahan kimia membutuhkan waktu 200 tahun terurai dan sama beracunnya dengan ban atau plastik bekas.

Pada 2019, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menemukan bahwa industri mode bertanggung jawab atas 8 hingga 10 persen emisi karbon dunia. Industri fesyen juga diketahui mengonsumsi lebih banyak energi dan air.

Untuk memproduksi serat plastik menjadi tekstil dibutuhkan minyak bumi dalam jumlah yang besar. Bahkan untuk membuat satu celana jeans membutuhkan 7.500 liter air dan untuk memproduksi satu kemeja katun membutuhkan sekitar 700 galon.

Industri mode pun menghasilkan sekitar 200 persen air lembah dunia. Proses pencelupan tekstil menghasilkan air sisa yang dibuang ke parit, sungai dan laut, serta melepaskan setengah juta ton serat mikro sintesis.  

Sementara itu daya beli masyarakat terhadap produk fesyen tidak melambat. Menurut studi Ellen McArthur Foundation, sebuah lembaga think-tank dan badan amal ekonomi sirkular yang berbasis di Inggris mengungkapkan produksi pakaian meningkat dua kali lipat selama jangka waktu 15 tahun dari 2004 hingga 2019.

Jumlah ini akan terus meningkat di masa yang akan datang, seperti perkiraan The Sustainable Fashion Forum yaitu pada 2030 konsumsi pakaian dunia akan meningkat hingga 63 persen, dari 62 juta menjadi 102 juta ton.

Bagaimana dengan Indonesia?

Pada Juni 2020, salah satu portal data dan statistika asal Jerman, Statista, merilis data survei mengenai persentasi produk yang paling banyak dibeli oleh masyarakat Indonesia. Hasilnya sebanyak 76 persen orang Indonesia lebih banyak membeli pakaian.

Orang Indonesia juga senang membeli sepatu dibandingkan buku atau film. Persentasenya mencapai 69 persen.

Sama dengan hasil temuan Statista, Kredivo dan Katadata Insight Center pernah menunjukkan hasil risetnya di tahun 2019 bahwa orang Indonesia lebih senang membeli produk fesyen.