“Indonesia memang sempat memiliki cadangan minyak dan gas yang sangat besar. Namun cadangan minyak telah merosot drastis sejak tahun 1990an dan gas bumi menurun sejak tahun 2009. Seiring dengan itu, nilai investasi di bidang hulu migas juga menurun.” Awalil Rizky dalam kuliah daring yang diselenggarakan oleh Pusat Belajar Rakyat (7/01/2022) pukul 16.00 WIB.*
BARISAN.CO – Cadangan minyak Indonesia yang terbukti (proven) sempat mencapai 11,6 miliar barel pada tahun 1980, namun pada tahun 2020 hanya sebesar 2,4 miliar barel. Jumlahnya terus menurun karena laju yang diekploitasi melampaui temuan cadangan baru tiap tahunnya.
Sementara itu, cadangan terbukti Gas Bumi pun perlahan mengalami penurunan. Setelah mencapai puncaknya pada tahun 2008 sebesar 3,2 triliun meter kubik. Sejak tahun 2013-2018 hanya di kisaran 2,8-2,9 triliun kubik meter.
Meskipun demikian, minyak dan gas (migas) masih memiliki porsi besar dalam Neraca Energi Indonesia. Kontribusinya masih besar dalam pendapatan negara, melalui pajak dan penerimaan bagi hasil. Bahkan, secara umum dapat dikatakan peran sektor migas masih penting dalam perekonomian Indonesia.
Indonesia sempat menikmati kondisi surplus minyak selama sekitar 40 tahun, ketika produksinya melampaui konsumsi domestik. Sejak tahun 2003, kondisi mulai berbalik dengan mengalami defisit.
Indonesia tetap melakukan ekspor dan impor minyak mentah, baik ketika kondisinya surplus maupun defisit. Impor ketika kondisi surplus terkait dengan soalan teknis ragam minyak mentah dan kemampuan mengolah dari pabrik pengolahan (kilang) yang berada di Indonesia. Dan dengan kondisi defisit, impor makin meningkat.
Sementara itu, kondisi Gas bumi masih surplus, meski cadangannya perlahan berkurang. Konsumsi domestik memang terus meningkat, antara lain karena dorongan mengganti minyak. Namun, Indonesia masih bisa ekspor gas hingga saat ini.
Awalil menjelaskan upaya menyelidiki potensi dan memastikan keberadaan cadangan (eksplorasi) dikategorikan kegiatan hulu migas. Hulu migas mencakup pula kegiatan atau mengeluarkannya (eksploitasi).
Seiring dengan cadangan minyak yang makin sedikit, produksi (lifting) minyak mentah juga menurun. Di masa lalu sempat mencapai 1,5 juta barel per hari. Selama beberapa tahun terakhir hanya di kisaran 700 ribu barel per hari.
Sedangkan produksi gas sempat terus meningkat hingga tahun 2003. Jumlahnya hanya sedikit fluktuatif selama periode tahun 2003-2015, namun terbilang masih cukup tinggi dan stabil. Sejak tahun 2015 cenderung sedikit menurun.
Selain karena kondisi alamiah, penurunan produksi migas juga disebabkan soal investasi di sektor hulu yang cenderung berkurang. Penurunan signifikan nilai investasi terjadi pada tahun 2015 dan 2016. Rata-rata nilai investasinya hanya di kisaran US$11 miliar pada periode tahun 2016-2020. Padahal sempat mencapai US$19 miliar pada tahun 2013 dan 2014.
Persoalan investasi hulu migas memang terbilang kompleks. Banyak aspek teknis terkait disertai dengan soal negosiasi pemerintah para investor. Upaya menarik investor terus dilakukan dengan memperbaiki skema kerja sama ditambah kemudahan perijinan dan kelonggaran dalam hal perpajakan.
Sebagian besar nilai investasi hulu migas saat ini untuk produksi dan pengembangan. Porsi untuk kegiatan eksplorasi terbilang kecil. Akibatnya, prospek penemuan cadangan baru pun tampak terkendala.
Beberapa aspek teknis penyebab turunnya produksi minyak dan gas selama sepuluh tahun terakhir dijelaskan dalam bentuk infografis oleh Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas). Disebutkan tentang gangguan produksi akibat dari rusaknya fasilitas termasuk pecahnya pipa, kebocoran dan pengambilan keputusan operasional yang baru, dan lain sebagainya.
Namun, Awalil menilai hal itu lebih merupakan akibat dari turunnya nilai investasi saja. Uraian selengkapnya dapat dilihat dari rekaman kuliah yang diunggah pada channel youtube: Awalil Rizky. [rif]