“Harus ada jurus baru,” tulis Pak Kunto. Sejarawan kondang UGM ini prihatin dengan pendekatan politik yang dilakoni para politisi muslim tempo itu. Politik yang emosional. Politik yang tidak rasional, yang justru tidak membawa misi kesadaran nilai, dan kepentingan material umat Islam. Umat hanya dijadikan sebagai penyumbang suara, yang kemudian sama sekali tak tersentuh kebutuhan riil mereka.
Saya sependapat banget, dan menemu kenyataan di era pasca kejatuhan Soeharto, bahwa harus ada perubahan orientasi, tujuan, dan perilaku politik. Para politisi dari kalangan Islam sedianya menyadari nilai dan kepentingan umat Islam, politik yang rasional.
Berikut tiga cara baru berpolitik yang dimaksud Dr. Kuntowijoyo.
Pertama, dari abstrak ke konkret. Adalah Al-Quran, kitab utama umat Islam, menempatkan yang konkret itu di tangga yang mulia. Surat Al-Maun, misalnya, jelas berisi di antaranya hukuman neraka bagi orang yang melupakan anak yatim, dan kelompok miskin.
Dalam surat An-Nisa: 75, malah lebih tandas Tuhan mengkritik kenapa umat Islam tidak mau berperang di jalan Allah dan membela orang-orang yang lemah, kaum tertindas. Seyogianya, ada kesejajaran orientasi ke Tuhan dengan pemihakan kepada kelompok bawah.
Bagi Pak Kunto, dalam sistem pengetahuan Islam, kehidupan material itu fitrah yang tak boleh diabaikan. Seseorang tidak boleh meninggalkan keluarga hanya karena hendak sepenuhnya beribadah pada Tuhan.
Bahwa kesempurnaan itu tidak berarti dengan meninggalkan dunia. Bahwa mengusung identitas Islam itu tidak berarti hanya dengan meneriakkan seruan moralitas, berulang kali melantangkan kata “takwa”, tapi abai dengan kepentingan petani, buruh, dan masyarakat tertinggal lainnya.
Dengan demikian, politik Islam pun mesti menangani masalah golongan bawah. Politik Islam harus mengangkat isu-isu konkret seperti penggusuran, pengusiran pedagang kakilima, penambangan semen yang sewenang-wenang, perusakan pesawahan, lahan hutan, dan soal ketimpangan UMR.
Politisi muslim mesti menyadari bahwa mereka-mereka yang berada di pinggiran itu bukan dengan kemauan sendiri, melainkan oleh sebab-sebab alamiah, yang melahirkan kemiskinan, dan sebab-sebab struktural, yang mengangakan kesenjangan.
Kedua, dari ideologi ke ilmu. Dr. Kuntowijoyo memampar bahwa pergeseran dari ideologi ke ilmu, tidak berarti pendekatan akhlak harus ditinggalkan. Karena akhlak bagi umat Islam adalah substansi. Tapi, harapan Pak Kunto, para pelaku politik memahami bahwa pendekatan ideologi itu akan kesulitan menghadapi kenyataan di negeri ini, kenyataan bangsa yang majemuk, dan kemajemukan umat Islam itu sendiri.
Ideologi-ideologi, apa pun itu, terlalu kaku menghadapi kenyataan. Sebab dalam ideologi, kenyataan ditafsirkan sesuai kaidah-kaidah yang diyakini sebagai kebenaran. Berbeda dengan pendekatan ilmu, yang melihat kenyataan sebagai kenyataan. Kenyataan otonom dari kesadaran pemandangnya.
Ketiga, dari subjektif ke objektif. Perubahan ini mengandaikan pengakuan sepenuhnya bahwa pluralisme itu nyata-nyata hidup. Senyatanya ada secara objektif, terlepas kita setuju tak setuju, suka tak suka. Pengakuan sepenuh pikiran dan perasaan bahwa agama di luar Islam itu ada dan bertumbuh, terlepas dari pendapat subjektif tentang agama tersebut.
Apa pun pendapat agama-agama di luar Islam, tentang diri mereka sendiri, tentang baik dan buruk, tentang benar dan salah, tentang interpretasi mereka atas kitab suci mereka, bahkan tentang kenyataan pasca-dunia, bukanlah urusan umat Islam.
Jadi, cara berpikir objektif tidak memerlukan pertimbangan-pertimbangan teologis dari kita, kaum muslim. Agama-agama seperti Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Khonghucu, tidak memerlukan pembenaran teologis secara Islam untuk menjamin keberadaan mereka di bumi Zamrud Khatulistiwa ini.