Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Cara Baru Berpolitik

Redaksi
×

Cara Baru Berpolitik

Sebarkan artikel ini

Ideologi-ideologi, apa pun itu, terlalu kaku menghadapi kenyataan. Sebab dalam ideologi, kenyataan ditafsirkan sesuai kaidah-kaidah yang diyakini sebagai kebenaran. Berbeda dengan pendekatan ilmu, yang melihat kenyataan sebagai kenyataan. Kenyataan otonom dari kesadaran pemandangnya.

Ketiga, dari subjektif ke objektif. Perubahan ini mengandaikan pengakuan sepenuhnya bahwa pluralisme itu nyata-nyata hidup. Senyatanya ada secara objektif, terlepas kita setuju tak setuju, suka tak suka. Pengakuan sepenuh pikiran dan perasaan bahwa agama di luar Islam itu ada dan bertumbuh, terlepas dari pendapat subjektif tentang agama tersebut.

Apa pun pendapat agama-agama di luar Islam, tentang diri mereka sendiri, tentang baik dan buruk, tentang benar dan salah, tentang interpretasi mereka atas kitab suci mereka, bahkan tentang kenyataan pasca-dunia, bukanlah urusan umat Islam.

Jadi, cara berpikir objektif tidak memerlukan pertimbangan-pertimbangan teologis dari kita, kaum muslim. Agama-agama seperti Katolik, Kristen, Hindu, Budha, dan Khonghucu, tidak memerlukan pembenaran teologis secara Islam untuk menjamin keberadaan mereka di bumi Zamrud Khatulistiwa ini.

Agama-agama itu ada secara objektif, cukuplah bagi umat Islam sebagai bukti. Kita tidak perlu repot mengorek-orek dalil pembenar dari kitab suci Al-Quran atau Sunah untuk mengakui eksistensi nonmuslim.

Kemudian, cara berpikir objektif juga meniscayakan kemauan mengendalikan egosentrisme Islam. Meski Islam menjadi umat mayoritas di negeri ini, tidak berarti bebas berlaku sewenang-wenang dalam berpolitik. Tidak asal menegakkan “syariat” Islam, hukum Islam.

Ingat, pada waktu Nabi saw. dan para sahabat masuk dan menguasai kembali kota Mekah, mereka justru diperintahkan untuk bertasbih, memuji Tuhan, dan beristighfar, sebagaimana termaktub dalam surat An-Nashr: 3.

Begitu.