Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Cara Mengabdi Pegiat Literasi

Redaksi
×

Cara Mengabdi Pegiat Literasi

Sebarkan artikel ini

KELINGAN, begitu kemudian kami menyebutnya. Semula adalah KPU, singkatan dari Komunitas Penulis Ungaran, lantas berganti menjadi Kelingan akronim dari Keluarga Literasi Ungaran. Dalam Kelingan ini, saya didaulat menjadi koordinator, dalam masa bakti yang entah sampai kapan tiada kejelasan.

Namun, tak jadi soal toh tak penting lagi menyoal waktu. Terlebih era gadget, demokrasi terbuka lebar, sehingga administrasi tidak lagi menjadi persoalan dan kepemimpinan sekadar simbol.

Ya, era gadget. Sebagaimana yang kita saksikan, media sosial sedemikian menggurita. Yang hadir adalah kesendirian. Hampir di segenap lini kehidupan, yang terjadi adalah pagelaran kesendirian. Kalau pun ada kebersamaan, karena komunikasi yang begitu intens, tetap saja yang terjadi adalah kebersamaan yang (barangkali) semu.

Perjumpaan ala kadar yang sementara, yang masing-masing berkompetisi memikirkan bagaimana kebutuhannya terpenuhi. Kesediaan berbagi, rasa empati pada yang lain, hanyalah karikatur (sebatas aksi yang sesungguhnya “ketimbang” tak berbuat). Mengumpulkan aksi simpatik yang kelak bakal jadi kisah pengantar tidur si bungsu. Demikiankah?

Entahlah! Entah, sebab rumusan kepastian gejala tersebut, saya tak memiliki perangkat teori untuk menyibaknya. Sekadar intuisi saja. Atau lebih tepat sebagai gerundelan wong cilik, yang belum (lebih  pas lagi “tak”) kebagian kue kemajuan (sembari tertawa getir…he he he).  Membaca kenyataan yang sama sekali tanpa dukungan literatur (buku) sosial, politik, dan kajian ilmiah lainnya.

Saya menyaksikan fenomena gadget itu sedemikian dahsyat. Melibat hampir segala umur. Bahkan sejak bayi masih dalam kandungan (sebut saja, fenomena sang ibu yang bermaksud memperdengarkan musik dan sejenisnya kepada si jabang dengan cara menempelkan benda kecil itu di atas perut buncitnya). Itulah kenyataan saat ini.

Kondisi yang mengepung kita hari-hari ini. Atau bisa juga, itulah justru gaya hidup yang sedang kita peragakan sehari-hari. Gaya hidup yang menengahkan kepentingan bersama saling berjabat erat dengan kepentingan pribadi. Interest pribadi, yang bukan saja dianggap wajar, tapi juga dirayakan sebagai suatu kebanggaan.

Saat yang sama, memperbincangkan keprihatinan, kesulitan orang-orang yang kekurangan, dan mewartakan solidaritas begitu membludak, membanjiri grup WhatsApp. Berseliweran di pelupuk mata kita.

Lantas apa pula perlunya Kelingan? Jelas keberadaan Kelingan bukan untuk menganulir kenyataan tersebut. Dan, hal itu memang tidak mungkin. Kelingan sebatas lalat atau nyamuk penyengat, yang sedikit mengganggu kenyamanan.

Perlu Sahabat ketahui, Kota Ungaran sampai hari ini telanjur dilekati sebagai kota industri (meski masih taraf kecil). Industri, dari sononya, identik dengan pola kapitalisme, yang mengagungkan kesendirian, kepentingan diri sendiri, dan tabu mempersoalkan kepentingan bersama.

Nah, kesediaan berbagi itulah yang lantas jadi prasyarat mengikuti dinamika Kelingan. Upaya menyuguhkan jamuan paguyuban yang kukuh, yang (semoga) bukan perjumpaan ala kadar. Yang berkelebihan buku, mesti sedia berbagi dengan yang tak memiliki buku. Yang berkelebihan pengetahuan tentang menulis, juga kudu siap berbagi tips menulis.

Begitu seterusnya. Pendek kata, Keluarga Literasi Ungaran itu merupakan miniatur masyarakat Ungaran yang ingin meneguhkan betapa pentingnya berliterasi. Bagaimana coba! Tak nyaman kan?  

Dalam kesempatan lain, saya pernah menulis bahwa Kelingan adalah wajah baru atau wujud dewasa dari KPU. Ibarat KPU itu remaja, yang hanya berkutat pada aktivitas tulis-menulis. Maka, Kelingan tak hanya jadi ajang pameran menulis, tapi juga menggiatkan tradisi membaca. Literasi di situ maujud dalam kelas menulis, panggung unjuk kebolehan, dan ruang baca.