Karena tidak sanksi atas kegagalan kebijakan ini. Karena tidak ada mekanisme pemberian tanggung jawab kepala negara kepada rakyat. Akibat hak konstitusi rakyat sudah dirampok dengan UU “palsu”. Sebelumnya, presiden Soekarno turun karena pertanggung jawabannya tidak diterima MPR. Begitu juga presiden Habibie. Ooh betapa buruknya nasib rakyat Indonesia sekarang ini.
Setelah TA, kini giliran Omnibus Law Cipta Kerja dimainkan. Maksudnya dikenalkan ke publik. RUU Cipta Kerja yang diumpan pemerintah sudah disahkan DPR menjadi UU pada 5 Oktober 2020. Pengesahan UU ini disambut gelombang protes dari berbagai elemen masyarakat.
Seperti biasa, pro dan kontra saling sikut menyikut. Pihak kontra mengatakan UU ini sangat merugikan masyarakat termasuk buruh, pekerja dan petani. Bahkan ada yang mengatakan UU ini membuat sistem perbudakan di Indonesia aktif kembali. Tragis mendengarnya. Selain itu, 35 investor global menyuarakan kekhawatirannya terhadap potensi kerusakan lingkungan hidup.
Pemerintah tentu saja ada alasan mengapa begitu ngotot mau mengesahkan UU Cipta Kerja. Alasannya klasik, sama seperti alasan TA. Yaitu, untuk menarik investasi sebesar-besarnya. Investasi asing maupun dalam negeri, untuk menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan pertumbuhan ekonomi.
Benarkah propaganda ini? Benarkah UU Cipta Kerja akan meningkatkan investasi? Jangan-jangan propaganda ini akan menjadi cek kosong belaka, seperti pada TA. Maksudnya, semua janji manis hanya isapan jempol saja. Kalau ini sampai terjadi, apakah pemerintah dan DPR berani bertanggung jawab karena sudah begitu ngotot mengesahkan UU tersebut, meskipun diiringi protes dan korban jiwa? Misalnya, mengundurkan diri kalau gagal?
Masalah ekonomi yang lemah saat ini bukan karena UU. Karena dengan menggunakan UU yang sama, pertumbuhan investasi pada periode 5 tahun sebelumnya (2010-2014) bisa lebih tinggi dari periode 5 tahun terakhir (2015-2019). Pertumbuhan investasi pada periode 2010-2014 rata-rata 27 persen per tahun. Jauh lebih tinggi dari periode 2015-2019 yang hanya 10,3 persen.
Pertumbuhan PMA dan PMDN periode 2010-2014 masing-masing 21,4 persen dan 32,8 persen, juga jauh lebih tinggi dari periode 2015-2019 yang masing-masing minus 0,23 persen dan plus 19,9 persen. Padahal pemerintahan SBY pada periode kedua tersebut juga menggunakan UU yang sama dengan pemerintahan Jokowi, yaitu UU yang belum diganti dengan UU Cipta Kerja.
Berdasarkan fakta ini, sangat tidak tepat menyalahkan UU atas pelambatan investasi. Oleh karena itu, solusinya bukan mengganti UU. Tapi seharusnya mengganti pengelola negara. Maksudnya, anggota kebinet yang tidak mampu. Selain itu, pemerintah dan DPR harus bertanggung jawab kalau kebijakan yang sudah makan korban nyawa ini ternyata gagal. Harus ada konsekuensinya. Berani?