Scroll untuk baca artikel
Risalah

Cerita Tutur, dari Kekuasaan dan dari Rakyat

Redaksi
×

Cerita Tutur, dari Kekuasaan dan dari Rakyat

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Cerita tutur adalah kisah yang dituturkan (disampaikan) secara lisan. Dalam kesejarahannya, cerita lisan itu menjadi harta rakyat yang diwariskan turun temurun, dari generasi ke generasi. Ia, cerita tutur, adalah hasil c(er)ita rasa kebudayaan. Sebagaimana teori kebudayaan V Peaursen: kebudayaan diciptakan oleh manusia, dan berpengaruh balik bagi kehidupan manusia.

Sebagaimana pada jaman Mataram Lama, 907 -1003 StM, adalah seorang raja besar yang sayang hanya memerintah sebentar, Dharmawangsa. Gelisah oleh perang saudara antara raja dan kerajaan Jayabaya kontra raja dan kerajaan Jayasaba, Dharmawangsa masuk ke perpustakaan. Di situ dia menemukan kitab Bramalawilasita atau belakangan dikenal sebagai Mahabharata. Ia kemudian meminta kepada para empu untuk menerjemahkan kitab itu, dari bahasa Sansekerta ke bahasa Jawa-(kuno). Maka tersadurlah dua kakawin, Bharatayuda dan Arjuna Wiwaha.

Lanjut Dharmawangsa meminta kepada juru tembang dan juru lakon untuk mewedarkan dua kakawin itu ke desa-desa. Ialah agar desa mulai mengenal kehidupan baru; misalnya cita-cita mulia yang dikejar Arjuna: kepandhitaan, kesatriaan, kejujuran, membela yang lemah. (Sumber: Sejarah Nasional, PP&K, 1955).

Alkisah dari upaya budaya ini, perang saudara berhenti, selesai.

Bisa dikatakan, upaya lisan itu, yang disampaikan juru tembang dan juru lakon, adalah babon cerita tutur se Nusantara. Sekaligus, sebagai bukti dari kekuatan budaya — kebudayaan sebagai institusi maupun nilai.
Sebagai institusi ialah elan budaya cerita tutur tersebut, dan sebagai nilai yakni nilai susastra (kesusastraan) yang memiliki kandungan nilai-nilai manusia dan kemanusiaan. Bagaimana kehidupan manusia (dengan nilai-nilai kemanusiaannya) disampaikan ke tengah rakyat. Sehingga atas elan budaya itu, tataran rakyat meningkat secara hakiki/hakikat; dari massa ke masyarakat ke umat.

Di jaman Mataram Islam tataran institusi/nilai budaya tersebut mengalami pengembangan secara harafiah. Ialah atas kehadiran Sunan Jaga Kali, sebagai juru tembang sekaligus juru lakon, dalam pertunjukan wayangnya (belakangan disebut: wayang kulit).

Bagaimana dalam pertunjukan wayang yang hakikatnya penyebaran agama Islam, dalang Sang Sunan mengejawantahkan nilai-nilai yang diperjuangkan Arjuna, secara kerakyatan. Yakni kepandhitaan, kesatriaan, kejujuran, membela yang lemah, ditampilkan dalam tokoh ponokawan (pono=tahu/mengerti, kawan=friend). Satu pelakonan dari Umaroh, goiroh, fitroh, baqoh, dijelmakan dengan penamaan: Semar, Gareng, Petruk, Bagong.

Jadi, dalam pelakonannya, bagaimana tokoh-tokoh ponokawan itu mewedar perjuangan Sang Arjuna itu. Bukan yang pada perkembangannya, justru sekadar menjadi lawakan atau banyolan tiada guna. Itulah sebabnya, di era wayang wong Ngesti Pandhowo (di Semarang, 1970-an) tokoh-tokoh ponokawan justru dimainkan oleh para petinggi Ngesti: Nartosabdho, Darsosabdho, Sastrosabdho, Siswosabdho (cq: budayawan Semarang, Soedjono Satyopoetro SH).

Atas bawah

Goenawan Mohamad pernah menulis risalah sastra berdasar konteks sosial-historisnya, Sastra Pasemon. Ialah karya sastra yang berisi pasemon, bermuatan kritik tersamar atau penyadaran halus secara naluriah/budayawi. Konteks ini justru terdapat dalam cerita tutur. Sebagaimana cerita tutur yang turun dari atas, dari kekuasaan, dari raja Dharmawangsa di jaman Mataram Lama itu.

Adapun yang datang dari bawah, dari rakyat, ialah yang saya contohkan atas kisah-kisah Abu Nawas dan Nasrudin Hoja yang justru bersifat tragik-komiko, tragedi sekaligus komedi, atau tragis-komis. Hadirnya sastra modern, sejak munculnya noveau roman (1950), justru lebih mengutamakan estetika sebagai cara berpikir. Lalu pada gilirannya, di Indonesia, muncul teori Sastra Pasemon (GM), suatu penasbihan bahwa kritik dalam karya sastra mesti disampaikan secara halus, secara estetik, secara sastrawi.