Scroll untuk baca artikel
Risalah

Cerita Tutur, dari Kekuasaan dan dari Rakyat

Redaksi
×

Cerita Tutur, dari Kekuasaan dan dari Rakyat

Sebarkan artikel ini

Jadi, dalam pelakonannya, bagaimana tokoh-tokoh ponokawan itu mewedar perjuangan Sang Arjuna itu. Bukan yang pada perkembangannya, justru sekadar menjadi lawakan atau banyolan tiada guna. Itulah sebabnya, di era wayang wong Ngesti Pandhowo (di Semarang, 1970-an) tokoh-tokoh ponokawan justru dimainkan oleh para petinggi Ngesti: Nartosabdho, Darsosabdho, Sastrosabdho, Siswosabdho (cq: budayawan Semarang, Soedjono Satyopoetro SH).

Atas bawah

Goenawan Mohamad pernah menulis risalah sastra berdasar konteks sosial-historisnya, Sastra Pasemon. Ialah karya sastra yang berisi pasemon, bermuatan kritik tersamar atau penyadaran halus secara naluriah/budayawi. Konteks ini justru terdapat dalam cerita tutur. Sebagaimana cerita tutur yang turun dari atas, dari kekuasaan, dari raja Dharmawangsa di jaman Mataram Lama itu.

Adapun yang datang dari bawah, dari rakyat, ialah yang saya contohkan atas kisah-kisah Abu Nawas dan Nasrudin Hoja yang justru bersifat tragik-komiko, tragedi sekaligus komedi, atau tragis-komis. Hadirnya sastra modern, sejak munculnya noveau roman (1950), justru lebih mengutamakan estetika sebagai cara berpikir. Lalu pada gilirannya, di Indonesia, muncul teori Sastra Pasemon (GM), suatu penasbihan bahwa kritik dalam karya sastra mesti disampaikan secara halus, secara estetik, secara sastrawi.

Ada banyak tak terhitung cerita tutur di Nusantara, yang disampaikan secara lisan dari jaman raja/kerajaan hingga kini. Cerita tutur itu kemudian banyak ditulis bahkan dibukukan. Bukankan itu pada hakikatnya ialah karya sastra, dalam bentuk cerita pendek. Tetapi cerita tutur itu tetap disebut cerita tutur, atau cerita rakyat, atau dengan istilah diestetiskan: folk lore.

Cerita tutur dengan sendirinya semacam ‘dipinggirkan’ dari jagat sastra, dari dunia sastra modern, khususnya bentukan short story (cerita pendek), cerpen itu. Padahal cerita tutur acap berisi kritik tajam terhadap kekuasaan. Satu pertanyaan muncul, mengapa nilai demokratis dalam cerita tutur ini dihilangkan, maka jawabannya hanya satu. Bahwa, pelenyapan nilai demokrasi kerakyatan itu, terjadi dan berlangsung selama rezim orde baru. Satu kekuasaan represif yang berlangsung tiga puluh tahun lebih, dan melakukan pembunuhan terhadap institusi kedaulatan rakyat dalam nilai demokrasi kerakyatan.

Hampir semua institusi dan nilai kerakyatan dilemahkan di era kekuasaan sang despot jendral besar Soeharto. Dari nilai kerakyatan dalam pertunjukan/kesenian rakyat, hingga sastra yang bervisi kerakyatan. Hasilnya, peran demokrasi ponokawan hanya menjadi banyolan atau dagelan tiada guna. Sastra hanya berisi keindahan bahasa dalam balutan estetika yang diagungkan. Dalam kebudayaan kemudian muncul istilah: bukan adhiluhung tapi adhilinglung.