Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Covid-19 dan Perintah Wudu

Redaksi
×

Covid-19 dan Perintah Wudu

Sebarkan artikel ini

BARISAN.CO – Kenapa wudu? Apa hubungan virus dengan salat? Ataukah ia sebangsa najis? Entah, saya pun tidak tahu persis. Saya hanya punya kegemaran mengaitkan sesuatu yang dogma dengan yang mungkin. Dari ritual agama coba dikontekskan, ditepat-tepatkan.

Kita mafhum, vitus korona itu bisa dimatikan, yaitu dengan sabun, atau dengan alkohol. Maka, keluarlah ketetapan dari pemangku kesehatan: sesering mungkin mencuci tangan dengan sabun. Dari yang simpel itulah lantas terpikir untuk mengaitkan fenomena virus dengan wudu. Anjuran mencuci tangan, sebagai bagian dari prokes, terasa relevan kalau ditarik ke ranah dogma wudu.

Berwudu, bersuci dengan menggunakan air bersih, salat kita pun menjadi sah. Berwudu, yakni membasuh wajah, mencuci atau mengalirkan air ke kedua tangan dari jari-jari sampai ke siku, membasuh sebagian kepala, dan membasuh atau mencuci kaki sampai dengan mata kaki. Berwudu, dengan membaca basmalah lanjut berkumur, dan membersihkan bagian dalam hidung, serta telinga.

Saya berpikir, cukuplah berwudu, niscaya virus korona itu musnah. Cukup dengan wudu, kita tidak perlu lagi mengumbar atau memendam panik. Meski, tetap saja kita harus patuh prokes, seperti menjaga jarak, menjauhi kerumunan, dan mengurangi mobilitas.

Toh, kalau kita cermat, anjuran prokes ini tidak lain merupakan protokol bersosial Islam. Sebab, relasi sosial Islam mengandaikan umat untuk bisa menjaga jarak pandang, menjaga aktivitas yang tidak berguna, dan menjaga pergaulan, dan seterusnya.

Singkat kata, relasi sosial baru, berkat Covid-19 ini, akhirnya tidak berseberangan dengan relasi sosial Islam. Termasuk, dan apalagi, kebiasaan bersuci, berwudu. Tuhan berfirman kepada Musa, “Hai, Musa! Perintahkan keluargamu untuk berwudu, karena sesungguhnya barangsiapa yang wudu, maka dia berada dalam keamanan-Ku.”

Nah, tidak main-main berarti. Berwudu bukan sekadar perkara ritus penghilang najis dan pengantar salat. Berwudu bukan semata dogma yang menjadikan salat kita diterima-Nya. Namun, ada rahasia kesehatan di baliknya. Dan, persis dengan kenyataan hari ini, pandemi korona “memaksa” kita semua untuk mengatur ulang secara drastis kebiasaan-kebiasaan lama yang (mungkin) usang.

Betapa hari ini, kita dilarang untuk bersalaman tangan. Betapa hari ini, segala model pertemuan, pesta, rapat-rapat, bahkan salat berjamaah mesti ditata ulang. Betapa hari ini, usai bepergian, kita harus segera membersihkan diri.

Alhasil, cara-cara lama dalam bersosial, dan beragama, berubah. Semula, kita hidup dengan cara sosialitas, kini beralih rupa menjadi individualitas. Seperti salat berjamaah tidak lagi lazim di musala atau masjid, tetapi berasa aman dan nyaman di rumah masing-masing. Anjuran prokes pun tertempel di mana-mana, mengingatkan betapa kebersihan diri itu penting dan mesti jadi kebiasaan.

Nyatalah, berwudu relevan sebagai jawaban atas kepanikan global tersebut.

Sang Nabi agung Saw. asal jazirah Arab, sedari dini mengingatkan, “Apabila seorang muslim berwudu dan berkumur, maka keluarlah kesalahan-kesalahan dari mulutnya. Kalau dia menyemburkan air dari hidung, maka keluarlah kesalahan-kesalahan dari hidungnya. Kalau dia membasuh wajahnya, maka keluarlah kesalahan-kesalahan dari wajahnya, keluar lewat tepi-tepi kedua matanya. Kalau dia membasuh kedua tangannya, maka keluarlah kesalahan-kesalahan dari kedua tangannya itu, keluar lewat bawah kuku-kukunya. Kalau dia mengusap kepalanya, maka keluarlah kesalahan-kesalahan dari kepalanya, keluar lewat bawah telinganya. Dan, kalau dia membasuh kedua kakinya, maka keluarlah kesalahan-kesalahan lewat kedua kakinya.”