BARISAN.CO – Wacana liberal itu memang penuh daya tarik. Saya mengikuti dengan sepenuh serius tema keislaman dari perspektif liberal. Saya menghirup keseriusan mereka mengusung kebebasan berpikir. Mengetengahkan wacana agama sebagai urusan privat, lepas dari pengawasan negara. Ya, wacana Islam dalam bingkai kapitalisme.
Namun, saat bersamaan saya juga kesengsem dengan paham sosialisme. Sosialisme itu pilihan perjuangan. Ia menepikan kebebasan individu.
Kapitalisme sebagai paham yang selaras dengan naluri serakah manusia, sepertinya tidak butuh perjuangan. Paham yang menjelmakan keinginan atau hasrat manusia. Paham yang menampung sifat egois yang terbawa sejak dini, bawaan lahir.
Sebuah ideologi yang sebetulnya tidak memerlukan agenda yang terorganisir karena sudah ada dengan sendirinya. Nyatalah, kapitalisme bukan sebuah agenda yang menuntut perjuangan. Berbeda dengan lawan ideologinya, sosialisme.
Take it or leave it, suka memakainya sebagai jalan hidup atau tidak. Sebuah pilihan memperjuangkan keadaan sama rata sama rasa. Dan Islam, menurut saya, sebagai agama sosialis. Islam sangat memperhatikan kondisi sosial yang timpang.
Bahkan kegelisahannya mengenai kemiskinan sejajar dengan penghambaan kepada Tuhan. “Dan mengapa kamu tidak mau berperang di jalan Allah dan (membela) orang yang lemah…” (An-Nisa’ [4]: 75).
Berjuang di jalan Tuhan, sabilillah, sejajar dengan pembelaan terhadap kaum tertindas. Bukankah itu ikon sosialisme? Semangat berempati, menyatu rasa, dan memberi kesempatan yang lain untuk turut menikmati sebagaimana yang kita rasakan.
Dan, yang pasti, semangat yang demikian itu tidak dengan sendirinya tumbuh dalam kesadaran. Ia mesti dipupuk, ditumbuhkan, dan diperjuangkan. Lantas bagaimana menegakkan sosialis? Perlukah dengan menjebol dinding kapitalis? Melibas ambisi serakah, nafsu egois, individualis, dan yang selalu mau menang sendiri?
Tidak perlu seekstrem begitu! Islam menyediakan perangkat nilai, Rukun Islam. Ia, dengan pelan, menggiring umat untuk berlaku sosialis.
Syahadat, rukun pertama, ikrar untuk tidak terikat pada materi. Bahwa ikatan yang sebenarnya adalah semata demi Tuhan. Sehingga, syahadat merupakan janji pada diri sendiri (dan tentunya juga kepada Tuhan) akan selalu menomorsatukan Tuhan.
Salat, rukun kedua, sebagaimana dalam surat Al-Ma’un, akan sia-sia saja menjalaninya jika tidak memiliki kepedulian pada yang miskin dan anak yatim. Jadi, salat, seolah Tuhan menghendaki bahwa tidak cukup menomorsatukan diri-Nya, jika tidak berlanjut kepada penghormatan kaum lemah.
Selanjutnya zakat, rukun ketiga, menyandarkan pada prinsip: harta yang kita simpan terdapat hak untuk kaum fakir-miskin, dan tertindas. Prinsip berbagi rezeki. Kemudian puasa, betapa selama kurang lebih 14 jam, kita dituntut merasakan penderitaan kaum papa, kaum tak berdaya.
Terakhir haji, sepulang dari ziarah ke Kota Mekah, dan ditambah Madinah, predikat haji mabrur akan niscaya, hanya tertuju kepada yang sanggup meneruskan ajaran kebajikan di lingkungan terdekatnya.
Islam merayakan keutamaan sosial atau kebaikan itu, sebagaimana titah-Nya, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Ali Imran: 92). Jadi, kebaikan sosial itu berbasis material, kebutuhan ekonomi.
Rasul Saw. juga bersabda, “Tidak beriman kepadaku orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya yang dekat dalam keadaan lapar.”
Kiranya jelas bahwa Islam, saya kira agama di luar Islam pun sama, menganjurkan umat untuk menjadi sosialis. Anjuran untuk mencukupkan diri seraya mengikhlaskan kekayaan menjadi rezeki orang lain. Menjalani hidup secukupnya sekaligus membuka peluang orang lain turut menikmati. Anjuran berbagi kebutuhan material, tidak kemaruk.