Scroll untuk baca artikel
Kontemplasi

Covid-19: Menjadi Sosialis

Redaksi
×

Covid-19: Menjadi Sosialis

Sebarkan artikel ini

Selanjutnya zakat, rukun ketiga, menyandarkan pada prinsip: harta yang kita simpan terdapat hak untuk kaum fakir-miskin, dan tertindas. Prinsip berbagi rezeki. Kemudian puasa, betapa selama kurang lebih 14 jam, kita dituntut merasakan penderitaan kaum papa, kaum tak berdaya.

Terakhir haji, sepulang dari ziarah ke Kota Mekah, dan ditambah Madinah, predikat haji mabrur akan niscaya, hanya tertuju kepada yang sanggup meneruskan ajaran kebajikan di lingkungan terdekatnya.

Islam merayakan keutamaan sosial atau kebaikan itu, sebagaimana titah-Nya, “Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sebagian harta yang kamu cintai.” (Ali Imran: 92). Jadi, kebaikan sosial itu berbasis material, kebutuhan ekonomi.

Rasul Saw. juga bersabda, “Tidak beriman kepadaku orang yang tidur dalam keadaan kenyang, sementara tetangganya yang dekat dalam keadaan lapar.”

Kiranya jelas bahwa Islam, saya kira agama di luar Islam pun sama, menganjurkan umat untuk menjadi sosialis. Anjuran untuk mencukupkan diri seraya mengikhlaskan kekayaan menjadi rezeki orang lain. Menjalani hidup secukupnya sekaligus membuka peluang orang lain turut menikmati. Anjuran berbagi kebutuhan material, tidak kemaruk.

Nah, kini di negeri kita, juga di banyak negara lain, sedang dibikin pusing oleh virus korona atau COVID-19. Perubahan demi perubahan pun terpaksa terjadi hampir di semua lini kehidupan. Kehidupan politik, ekonomi, realitas sosial, hingga fikih ritual agama, berjalan searah dengan kemauan virus itu. Ada penjarakan fisik, pengalihan ruang belajar sekolah, pembatasan jumlah jamaah salat di masjid, yang intinya diskoneksi fisik.

Sebagai konsekuensi, berkat COVID-19 ini, tidak ada lagi rapat-rapat berskala besar, tidak ada pesta, sekolah “libur”. Industri hiburan tutup, kafe tutup, kawasan wisata tutup. Instansi-instansi pemerintah dan swasta mengurangi jam kerja. Sehingga, yang kerja kantoran, bisa menikmati #kerjadarirumah, karena kebijakan #dirumahsaja.  

Namun, bagaimana dengan mereka yang kerja pabrikan? Yang kerja di instansi Kesehatan? Yang kerja dengan mengandalkan tenaga fisik, seperti, jasa kurir, tukang ojek, dan sebagainya. Atau yang hanya mengandalkan bisnis kecil di pinggir trotoar?

Dan, pelbagai produksi rumahan lainnya. Nah, dari situlah, saya turut mengandaikan wacana liberal, dan segala yang berbasis kapitalisme, mau tidak mau, harus bermutasi ke sosialis.

Saya membayangkan, seturut dengan ide Islam, “kebajikan (yang sempurna): menafkahkan sebagian harta yang dicintai,” dengan sendirinya berjalan secara alami. Sebagaimana ungkap Martin Suryajaya, berkat pandemi ini, negara akan menasionalisasi sektor industri manufaktur, pertanian, perkebunan, transportasi, kesehatan, dan hiburan.