BARISAN.CO – Pemerintahan mengeluarkan keputusan kenaikan cukai hasil tembakau (CHT) dengan rata-rata 10% (SKM I-II naik 11,75%-11,50%; SPM I-II naik 12%-11,8%; SKT I-II-III naik 5%). Keputusan ini akan berlaku sama untuk 2023 dan 2024. Sementara cukai rokok elektronik naik 15% dan 6% untuk HPTL, yang berlaku kenaikannya setiap tahun selama 5 tahun, mulai 2023 hingga 2028.
Selain itu, pemerintah juga menyatakan bahwa Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBHCHT) harus fokus digunakan untuk perbaikan kesehatan (perbaikan puskesmas, posyandu, dan penanganan stunting, perbaikan kesejahteraan petani dan buruh, serta pemberantasan rokok illegal). Juga impor tembakau akan diatur dan dibatasi untuk melindungi petani tembakau dalam negeri.
Komite Nasional Pengendalian Tembakau menilai kenaikan rata-rata 10% ini sangat kecil dan tidak akan efektif menurunkan prevalensi perokok, termasuk perokok anak.
“Kemudahan akses dan murahnya harga rokok adalah faktor signifikan tingginya prevalensi perokok anak, sehingga kenaikan cukai yang hanya 10% ini akan kembali menganggalkan target pemerintah untuk menurunkan prevalensi perokok anak yang kini sudah mencapai 9,1%. Ditambah lagi, kenaikan tipis ini tidak terlalu berpengaruh pada perokok adiktif mengingat terlalu dekat dengan angka inflasi tahunan,” papar Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau, Prof. dr. Hasbullah Thabrany, MPH, Dr.PH., pada konferensi pers hari ini, di sekretariat TCSC IAKMI, Jakarta, Rabu (9/11/2022).
Hal lain yang juga mengecewakan adalah tidak adanya penyederhanaan golongan. Struktur cukai saat ini dengan 8 golongan yang ada, sangat memudahkan perokok untuk beralih ke rokok yang lebih murah, serta memberikan peluang bagi produsen untuk menghindari cukai dengan melekatkan pita cukai rendah pada produk yang cukainya lebih tinggi.
“Kompleksitas sistem cukai rokok dengan sejumlah golongan tersebut, memberikan celah penghindaran pajak dan penggelapan pajak, sehingga mengakibatkan kerugian ganda bagi kesehatan dan pendapatan negara,” papar Dr. Abdillah Ahsan, S.E, M.S.E., Kepala Lembaga Demografi FEB UI, ekonom dan peneliti dari UI.
“Kenaikan Cukai Hasil Tembakau merupakan amanah Undang-undang Cukai no 39 tahun 2007, tarif CHT per tahun di Indonesia belum pernah mencapai tarif yang dicantumkan dalam Undang-undang yaitu 57% dengan harga dasar perhitungan terhadap HJE,” tambah Abdillah.
“Kenaikan cukai yang kecil ini membuat target RPJMN tidak akan tercapai dalam menekan angka prevalensi di kalangan remaja menjadi 8,7% pada tahun 2024. Target tersebut hanya akan tercapai jika terjadi kenaikan minimal 25% setiap tahun,” jelas Tulus Abadi, SH., Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia.
“Kenaikan cukai 5 tahunan sebesar 15% untuk rokok elektronik juga terlalu kecil, mengingat prevalensi rokok elektronik meningkat 10 kali lipat, laju kenaikan yang sangat tinggi, bahkan lebih besar di kalangan remaja,” tambah Tulus Abadi.
Cukai sendiri merupakan salah satu kebijakan yang cost effective untuk mengurangi prevalensi perokok. Namun cukai yang diberlakukan belum mampu menurunkan harga rokok eceran, sehingga konsumsi, terutama pada anak dan remaja masih terancam tinggi.
Ketiga pembicara sepakat memberikan dukungan penuh kepada pemerintah, baik pusat dan daerah untuk konsisten menaikkan cukai tembakau untuk kepentingan penurunan prevalensi perokok anak dan target penurunan prevalensi perokok anak sesuai target RPJMN 2024.
Sebagai informasi, organisasi pengendalian tembakau di Indonesia yang diwakili oleh Komnas Pengendalian Tembakau, CISDI, CHED ITB AD, Lembaga Demografi FEB UI, PKJS UI, MTCC dan TCSC IAKMI sebagai institusi yang mempunyai kepedulian pada isu kenaikan cukai hasil tembakau. [rif]