Kenaikan PPN menjadi 12% pada 2025 bukan hanya soal angka pajak, tetapi ancaman nyata terhadap daya beli masyarakat dan kestabilan ekonomi
PEMERINTAH Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) telah menetapkan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12%, yang akan berlaku pada Januari 2025.
Kebijakan ini menuai berbagai tanggapan, terutama karena potensi dampaknya yang signifikan terhadap daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi.
Keputusan ini dapat memberikan tekanan besar pada kelompok masyarakat rentan, serta memengaruhi kinerja ekonomi nasional secara keseluruhan.
PPN adalah jenis pajak regresif yang membebani konsumen secara langsung. Ketika tarifnya dinaikkan, harga barang dan jasa otomatis meningkat, yang pada gilirannya mengurangi daya beli masyarakat.
Kenaikan PPN ke 12% berpotensi menurunkan konsumsi rumah tangga hingga Rp40,68 triliun. Mengingat konsumsi rumah tangga menyumbang sebagian besar dari Produk Domestik Bruto (PDB), penurunan ini diperkirakan akan mengurangi PDB sebesar Rp65,33 triliun.
Data menunjukkan bahwa dampak kenaikan PPN akan lebih dirasakan oleh kelompok miskin dan rentan miskin.
Kenaikan pengeluaran bulanan untuk kelompok miskin diperkirakan mencapai Rp101.880, sementara kelompok rentan miskin harus menghadapi tambahan beban sebesar Rp153.871 per bulan.
Untuk kelompok menengah, pengeluaran meningkat hingga Rp354.293 per bulan. Penambahan beban ini tidak hanya memengaruhi kualitas hidup, tetapi juga memperburuk ketimpangan ekonomi di Indonesia.
Selain dampak ekonomi langsung, kebijakan ini juga berpotensi memicu berbagai masalah sosial. CELIOS mencatat bahwa kenaikan PPN dapat meningkatkan tekanan psikologis dan memperburuk kondisi kesehatan mental, terutama pada Generasi Z dan masyarakat menengah ke bawah.
Biaya hidup yang terus meningkat tanpa diimbangi dengan peningkatan pendapatan dapat menyebabkan ketidakpuasan sosial dan menurunkan tingkat kesejahteraan.
Dampak sosial lainnya adalah potensi peningkatan angka perceraian akibat tekanan ekonomi. Faktor ekonomi menjadi salah satu pemicu utama konflik rumah tangga. Dengan kenaikan PPN, risiko ini dapat meningkat, terutama di kalangan keluarga dengan pendapatan terbatas.
Meskipun kenaikan PPN dirancang untuk meningkatkan penerimaan negara, sebenarnya ada alternatif kebijakan yang lebih progresif dan berkeadilan.
Misalnya, penerapan pajak kekayaan (wealth tax) dapat menyasar individu dengan penghasilan tinggi, sehingga tidak membebani masyarakat rentan.
Potensi penerimaan dari pajak kekayaan diperkirakan mencapai Rp81,6 triliun, yang jauh lebih besar dibandingkan dampak negatif kenaikan PPN terhadap konsumsi rumah tangga.
Alternatif lainnya adalah optimalisasi pajak dari sektor tambang ilegal dan kelapa sawit. Potensi penerimaan dari sektor ini mencapai Rp300 triliun, yang dapat menutupi kebutuhan fiskal tanpa harus menaikkan PPN.
Selain itu, pemerintah juga dapat mempertimbangkan pajak karbon dan pajak windfall komoditas untuk meningkatkan pendapatan negara secara berkelanjutan.
Kenaikan PPN juga berimplikasi pada peningkatan inflasi. Data menunjukkan bahwa saat PPN naik dari 10% menjadi 11% pada tahun 2022, inflasi melonjak dari 1,56% menjadi 4,21%.
Pada 2025, inflasi diperkirakan mencapai 4,11% akibat kenaikan PPN ke 12%. Inflasi ini tidak hanya mengurangi daya beli masyarakat tetapi juga memengaruhi stabilitas harga di pasar domestik.
Pre-emptive inflation, yaitu inflasi yang terjadi sebelum kebijakan baru diterapkan, juga menjadi perhatian.
Perilaku pelaku usaha yang menaikkan harga barang dan jasa sebelum tarif baru berlaku dapat memperburuk situasi ekonomi, terutama menjelang akhir tahun 2024 hingga awal 2025.