Scroll untuk baca artikel
Kolom

Harga Pangan dan Inflasi: Tantangan Besar bagi Pemerintahan Prabowo

×

Harga Pangan dan Inflasi: Tantangan Besar bagi Pemerintahan Prabowo

Sebarkan artikel ini
harga pangan
Ilustrasi/Barisan.co

Harga pangan yang terus melonjak, meskipun inflasi menurun, menjadi ironi di era kepemimpinan Prabowo Subianto. Ketika operasi pasar digadang-gadang sebagai solusi, benarkah kebijakan ini mampu menyelesaikan akar masalah ketahanan pangan Indonesia?

KEBIJAKAN ekonomi di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto menghadapi tantangan besar dalam menjaga stabilitas harga dan kesejahteraan masyarakat, khususnya dalam sektor pangan.

Berdasarkan paparan dalam diskusi “Ngobrol Ekonomi” di channel Youtube Awalil Rizky bersama Prof. Hermanto Siregar, terdapat sejumlah permasalahan yang perlu dikritisi, terutama dalam pengelolaan inflasi pangan, efektivitas operasi pasar, serta kebijakan harga yang diterapkan oleh pemerintah.

Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa meskipun inflasi umum cenderung menurun, kelompok makanan, minuman, dan tembakau tetap mengalami inflasi.

Hal ini menunjukkan bahwa harga pangan masih bergejolak meskipun ada upaya stabilisasi dari pemerintah.

Inflasi pangan yang tinggi berdampak langsung pada daya beli masyarakat, terutama kelompok berpenghasilan rendah yang lebih banyak mengalokasikan pendapatannya untuk kebutuhan dasar.

Kenaikan harga komoditas pangan, seperti beras dan cabai, menjadi permasalahan utama yang perlu diselesaikan dengan kebijakan yang lebih efektif.

Kebijakan yang hanya mengandalkan operasi pasar tidak cukup untuk mengatasi fluktuasi harga jangka panjang.

Sebaliknya, diperlukan strategi yang lebih sistematis, seperti perbaikan distribusi, peningkatan produksi lokal, serta pengelolaan stok cadangan yang lebih baik.

perkembangan inflasi 2000-2024

Pemerintah di bawah kepemimpinan Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk menjaga stabilitas harga pangan, terutama menjelang bulan Ramadan dan Lebaran.

Salah satu langkah yang dilakukan adalah membuka 4.800 gerai pangan di seluruh Indonesia yang menjual komoditas di bawah harga eceran tertinggi (HET). Meskipun langkah ini tampak menjanjikan, efektivitasnya perlu dipertanyakan.

Pertama, intervensi semacam ini sering kali hanya berdampak sementara dan tidak menyelesaikan akar masalah, yaitu ketidakseimbangan antara produksi dan permintaan.

Jika pemerintah hanya berfokus pada penurunan harga melalui operasi pasar tanpa mengembangkan sektor produksi pertanian secara lebih berkelanjutan, maka kebijakan ini hanya bersifat jangka pendek.

Kedua, ancaman pencabutan izin usaha bagi pengusaha yang menjual di atas HET juga perlu dikaji ulang. Pendekatan yang terlalu represif dapat mengganggu kelangsungan bisnis para pedagang kecil dan menengah yang bergantung pada dinamika pasar.

Sebaliknya, pemerintah perlu memberikan insentif bagi produsen dan distributor agar harga dapat tetap stabil tanpa harus menggunakan mekanisme penindakan yang berlebihan.

Dampak bagi Petani dan Ketahanan Pangan